Selasa, 09 Desember 2014

COKRONEGORO PAHLAWAN YANG TERLUPAKAN

COKRONEGORO I :
Pahlawan yang Terlupakan

Oleh : Supriyo

(Silahkan jika dibutuhkan bisa menjadi Referensi. Jika berkenan hubungi saya untuk berdiskusi di supriyo_mtsnbener@yahoo.co.id atau 081 392 080 595)


DARAH BANGSAWAN SANG BUPATI
 Kanjeng Raden Adipati Arya (RAA) Cokronegoro I, yang masa kecilnya bernama Raden Mas Reso Diwiryo, merupakan putra sulung dari Raden Ngabehi Singowijoyo yang merupakan keluarga Kyai terpandang di tanah Bagelen salah seorang abdi dalem Keraton Surakarta yang berpangkat Mantri Gladhag. Jika diruntut, beliau merupakan keturunan seorang wali yang terkenal, yaitu Sunan Geseng alias Kyai Cokrojoyo.
Sunan Geseng mempunyai putra yaitu Kyai Karto Manggolo atau Raden Adipati Nilosrobo I (memerintah di daerah Bagelen) yang semasa mudanya bernama Joko Bedug. Kemudian Adipati Nilosrobo I ini mempunyai dua putra yaitu, Raden Bhumi dengan gelar Raden Adipati Nilosrobo II dan Kyai Mentosoro.
Dari Adipati Nilosrobo II turun putra yang bernama Raden Ngabehi Nosuto sedangkan Kyai Mentosoro mempunyai putra bernama Raden Ngabehi Rogowongso.
Raden Ngabehi Nosuto menikah dengan Raden Ayu Sekar Dhadhu, yang semasa kecilnya bernama Rara Tungle salah satu putri Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677) – Raja Mataram – dengan seorang selir pada masa pelariannya ke Batavia semasa Geger Trunojoyo. Perkawinan antara Raden Ngabehi Nosuto dengan Raden Ayu Sekar Dhadhu ini melahirkan 3 orang putra, yaitu Raden Tumenggung Cokrojoyo diangkat menjadi Bupati Tumbak Anyar, Raden Tumenggung Kertoyudho, dan Raden Yudhosoro.                       Sebab Raden Ngabehi Nosuto wafat pada usia yang masih muda, kemudian Raden Ayu Sekar Dhadhu menikah lagi dengan saudara suaminya, yaitu Raden Ngabehi Rogowongso atau Ki Setrajaya pembantu setia Susuhunan Paku Buwono I yang kemudian hari diangkat menjadi patih kerajaan dengan nama Adipati Cakrajaya yang bergelar Raden Adipati Aryo Danurejo karena jasanya yang besar  kepada Paku Buwono I baik pada masa sulit saat masih terjadi perang saudara antara Paku Buwono I atau Pangeran Puger dengan kakak kandungnya Amangkurat II maupun setelah Pangeran Puger menjadi raja mataram lagi.                                                                      Dari perkawinannya yang kedua Raden Ayu Sekar Dhadhu dan Raden Adipati Aryo Danurejo ini mempunyai putra, yaitu Raden Nilosrobo III, yang kemudian menjadi Bupati Bedug III, Raden Kertomenggolo (Bupati Bedug IV) , Raden Rogoyudho, dan Raden Roro Ragil.
Raden Roro Ragil menikah dengan Raden Ngabehi Nosingo, seorang Mantri Gladhag di Keraton Surakarta. Dari perkawinannya dengan Raden Ngabehi Nosingo dikaruniai seorang putra yang setelah dewasa bernama Raden Ngabehi Singowijoyo dan kemudian menggantikan ayahandanya sebagai Mantri Gladhag juga. Dari pernikahannya, Raden Ngabehi Singowijoyo mempunyai tiga orang putra, yaitu Raden Ngabehi Resodiwiryo, Raden Nganten Secowikromo atau Citrowikromo yang menjadi istri Raden Demang Citrowikromo di Tlepok, dan Raden Prawironegoro.
Ngabehi Resodiwiryo diperkirakan lahir di desa Bragolan (Bagelen), pada hari Rabu Pahing, bulan Ramadhan tahun Ehe 1708 Jawa yang bertepatan dengan 17 Mei 1776.                                                                                                                                                                                                                           ABDI KINASIH SANG SUNAN
 Sebagaimana yang telah di sampaikan di muka, bahwa Raden Ngabehi Reso Diwiryo adalah putra dari Raden Ngabehi Singowijoyo yang mengabdikan dirinya sebagai Mantri Gladhag di Kraton Surakarta yang tugasnya adalah mengorganisir pengangkutan tenaga kerja untuk raja.
Setelah Raden Ngabehi Singowijoyo pensiun karena menderita sakit lumpuh, maka jabatan tersebut di serahkan kepada putra sulungnya yaitu Raden Ngabehi Reso Diwiryo.
Raden Ngabehi Reso Diwiryo merupakan abdi dalem yang cerdas, pekerja keras, cekatan, dan setia sehingga ia menjadi salah satu abdi kinasih Sunan Paku Buwono VI. Bukti Reso Diwiryo menjadi abdi kinasih Sunan Paku Buwono VI dan keraton adalah dengan diangkatnya beliau menjadi Penewu Gladhag yang membawahi sekitar seribu orang pekerja pada tahun 1815, diberikannya warangka keris “Kyai Bintoro” yang terbuat dari emas murni milik raja sebagai ganti  warangka kerisnya yang hanya terbuat dari logam campuran biasa dan juga kelak diangkat sebagai senopati pengamping yang dikemudian hari mengantarkan kariernya menjadi Bupati Purworejo pertama.
Namun sayangnya, karena hadiah dari Sang Raja itu, menimbulkan kecemburuan bagi Sang Patih, Raden Adipati Sasradiningrat II, sehingga dicarilah kesalahan Reso Diwiryo dan kemudian diturunkan pangkatnya kembali menjadi Mantri  Gladhag.                                                                                                                                                                                                       RITUAL  LAKU  PRIHATIN
 Merasa terhina oleh tindakan Sang patih, Ngabehi Reso Diwiryo akhirnya memilih mundur dari jabatannya sebagai mantri Gladhag dan pulang ke Tanah Bagelen di kediaman ibunya desa Ngasinan untuk memperdalam olah kebatinan di sana.
Jauh sebelumnya, ketika Ngabehi Reso Diwiryo masih remaja, ia pernah berguru Tasawuf Islam dan olah kebatinan pada seorang Kyai terkenal dari desa Mlangi yaitu Kyai Taptajani (Taftazani) yang juga merupakan guru dari Pangeran Diponegoro dan Pangeran Adisuria, adik laki-laki Pangeran Diponegoro yang bergelar pangeran Ngabdulrakhim tokoh perang Jawa yang gugur di tanah Bagelen.
Di tanah Bagelen ini, Reso Diwiryo melakukan rangkaian laku prihatin dan olah kebatinan yang disebut sebagai tirakat Puji Dino yang mungkin tidak banyak orang bisa melakukannya.
Tahun pertama Reso Diwiryo melakukan tirakat Mutih, yaitu puasa yang tidak boleh makan apa-apa selain makan nasi putih dan minum air putih pada saat sahur dan buka puasa, yang dijalaninya selama satu tahun dan kemudian dilanjutkan dengan laku prihatin Ngrowod selama tiga tahun.
Laku prihatin Ngrowod atau puasa Ngrowod ini adalah puasa seperti biasa tetapi makannya hanya buah atau sayuran. Puasa ini hanya boleh makan dari hasil krowodan, seperti singkong, ubi jalar, serta buah-buahan dan tidak boleh makan daging, ikan, dan wohing dami (seperti beras, ketan dan lain-lain).
Dalam melakukan puasa ngrowod yang biasanya dilakukan orang bertahun-tahun, seseorang hanya boleh makan dari makanan berjenis sama pada hari yang sama, seperti yang dilakukan oleh Reso Diwiryo yang melakukan laku prihatin ini hanya dengan makan pisang emas saja pada tahun kedua, hanya makan kunyit saja pada tahun ketiga, dan hanya makan cabe saja pada tahun keempat.
Reso Diwiryo juga melakukan laku prihatin Wungon, yaitu laku prihatin dengan menahan tidur selama sehari semalam. Makna wungon lebih mengarah pada perwujudan sikap siap waspada, bahkan diyakini orang yang melakukan laku prihatin ini akan mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat, seperti tidak bisa (sulit) disantet, mempunyai kepekaan tinggi pada rasa dan pendengarannya, dan lain-lain.
Ketika melakukan laku prihatin ini, untuk menahan tidurnya, Reso Diwiryo pada malam hari sering membuat batu bata merah di pekarangannya dan jika merasa lelah, ia langsung naik ke atap rumah dan berbaring di atasnya dengan berbantal sepotong kayu, yang kemudian hari dikatakan sebagai kayu bertuah dan kini tersimpan di makam Bulus Hadi Purwo.
Akhir dari laku prihatin yang dijalanani Reso Diwiryo di tutup dengan laku tapa ngluweng, yaitu bertapa dalam luwengan (lubang pada tanah), dikubur seperti layaknya mayat, berbaring membujur ke utara dengan tangan sedekap di dada selama 40 hari, sehingga saat diangkat dari tapanya kondisi tubuhnya sudah sangat memprihatinkan.
Laku prihatin ini, bagi yang menjalaninya dipercaya akan mempunyai kekuatan gaib, seperti dapat melihat dan berkomunikasi dengan roh halus, ngraga sukma, membangun kesaktian pribadi, dan lain-lain.
Selain melakukan rangkaian laku prihatin, selama di tanah Bagelen, Reso Diwiryo juga banyak melakukan kunjungan kepada kaum kerabatnya di pelosok-pelosok tanah Bagelen, mempererat hubungan kekeluargaan dengan sebaik-baiknya, mempelajari kebiasaan penduduk, kehidupannya serta tanah di wilayah Bagelen, yang kelak kemudian hari dirasakan manfaatnya yang begitu tinggi ketika ia di utus kerajaan sebagai senopati pengamping pada perang Jawa yang terjadi di tanah Bagelen.                                                                                                                                                                                            PRAHARA TANAH BAGELEN
 Tanah Bagelen menurut catatan perjalanan Kapten Godfrey Phipps Baker dari Batalion ke-7 Infanteri Ringan Benggala, Kapten tentara Sepoy yang melakukan survei atas perintah Raffles pada tahun 1815, merupakan tanah terbaik di Jawa. Daerahnya paling makmur dan berpenduduk sangat padat dengan jalan raya sepanjang pantai yang terpelihara baik dengan permukaan tanah yang mulus rata.
Kekuatan ekonomi setempat utamanya terletak pada hasil padi dan usaha kerajinan tenun. Tiga pusat pertenunan katun Bagelen paling penting sebelum Perang Jawa adalah Jono, Wedi, dan Tangkilan (dekat Gombong), dan satu lagi pusat khusus pertenunan kain rami yaitu di Tanggung (sekarang masuk wilayah sekitar desa Sidomulyo).
Bagelen Barat adalah penghasil surplus utama padi dan kedele yang merupakan gudang padi-padian dan bahan pangan lain untuk daerah-daerah timur Jawa Tengah bagian selatan seperti Mataram dan Pajang.
Selain itu, Bagelen juga terkenal sebagai penyedia tenaga kerja yang baik untuk kraton yang disebut gladhag. Pengakuan resmi Kraton atas pentingnya provinsi berpenduduk padat ini dapat dilihat dalam penyebutan daerah tersebut dalam dokumen kerajaan sebagai siti sewu (tanah seribu).
Mengingat semua kekayaan tersebut, tidak mengherankan jika pihak keraton memperlakukan Bagelen sebagai bagian penting harta pusaka mereka dan menjadi rebutan tiga kepentingan, yaitu keraton Surakarta, Yogyakarta, dan pemerintahan Belanda.
Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, sebagai titik tolak pecahnya Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, akibat perang antara Belanda dengan Mataram yang melibatkan VOC, Mataram dan Pangeran Mangkubumi, telah membagi daerah kekuasaan dua kerajaan antara pewaris tahta Mataram, Sunan Pakubuwono III berkedudukan di Surakarta dan pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I dan berkedudukan di Yogyakarta.
Pembagian wilayah ini memang tidak jelas batas-batasnya, sebagaimana yang terjadi di tanah Bagelen, sehingga Bagelen ada yang masuk dalam wilayah Surakarta dan ada pula yang masuk dalam wilayah Yogyakarta. Menurut seorang peneliti dalam bukunya Radix Penadi, Bagelen menjadi tumpang puruk, campur baur seperti rujak.
Sebagaimana yang sering terjadi di kerajaan-kerajaan Nusantara, untuk melanggengkan tahta dan kekuasaan wilayahnya, maka tak sedikit raja-raja tersebut meminta bantuan kepada Belanda. Demikian juga pihak Belanda, jika mengalami kesulitan dalam peperangannya, mereka juga akan meminta bantuan terhadap raja-raja tersebut yang terikat dengan perjanjian ataupun yang masuk dalam kekuasaannya.
Bagelen yang pada masa Perang Jawa merupakan salah satu basis perlawanan Pangeran Diponegoro yang membuat pihak Belanda selalu kuwalahan dan merugi, meminta bantuan Kasunanan Surakarta untuk membantu perang melawan pasukan Diponegoro.
Salah satunya adalah ketika Jenderal Hendrik Marcus de Kock,  meminta bantuan Sunan Paku Buwono VI mengirimkan pasukan Kasunanan ke Tanah Bagelen yang dipimpin oleh Pangeran Kusumayudha seorang prajurit yang berpengaruh dan berpengalaman di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta.
Akan tetapi karena Pangeran Kusumayudha tidak menguasai daerah Bagelen, maka beliau meminta bantuan dengan mengusulkan Ngabehi Resodiwiryo untuk menjadi penasihat pribadinya yang disetujui oleh Sunan Paku Buwono VI dan mengangkat Ngabehi Resodiwiryo menjadi Senopati Pengamping.
Semula Ngabehi Resodiwiryo menolak pengangkatan ini mengingat bahwa beliau akan berhadapan dengan saudara seperguruannya ketika berguru pada Kyai Taftazani, dan mengusulkan anaknya yang bernama Ngabehi Cokrodiwiryo yang menjadi pendamping Pangeran Kusumayudha, tetapi karena Ngabehi Cokrodiwiryo tidak menguasai daerah Bagelen, maka permintaan Ngabehi Resodiwiryo ini ditolaknya. Ngabehi Resodiwiryo tidak bisa menolak lagi. Walaupun dulu pernah merasa sakit hati dengan Patih Kasunanan, tetapi terhadap Kasunanan dan Raja, ia tetap setia dan loyal. Dan ketika kalender menunjukkan tanggal 8 Muharram 1753 atau bertepatan dengan 23 Agustus 1825 Masehi, pasukan Kasunanan Surakarta di bawah komandan pangeran Kusumayudha berangkat ke medan perang wilayah Bagelen dan Banyumas.
Dalam setiap pertempuran, Resodiwiryo memperlihatkan semangat tempur yang sangat tinggi dan loyal terhadap atasannya. Untuk mengobarkan semangat tempur pasukannya dan menyurutkan nyali lawannya ia menggunakan iringan gamelan perang yang terbuat dari perunggu dan menggunakan tombak Kyai Kere.
Kecakapannya dalam setiap pertempuran dan kepawaiannya ia menggunakan bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan Belanda, membuat Resodiwiryo menjadi dekat dan disenangi Kolonel Cleerens, Panglima Pasukan Hindia Belanda di Bagelen yang bermarkas di Kedungkebo.
Pada bulan Desember 1828, Resodiwiryo dapat mengalahkan dan menangkap seorang Senopati yang menjadi lawannya bernama Basah Purwonegoro bersama delapan orang pengawalnya di suatu tempat sekitar tepi Sungai Bogowonto. Atas jasanya tersebut ia kemudian diangkat sebagai Adipati Tanggung dengan bergelar Tumenggung Cokrojoyo oleh Sunan Paku Buwono VI dan diserahkan atas tanah-tanah Kasunanan Surakarta yang terdapat di Bagelen.
Akhir 1829 merupakan bulan suram bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Banyak pemimpin-pemimpin perjuangan yang menyerah, sehingga Belanda dan sekutunya mampu mengontrol pertempuran di wilayah Bagelen dan sekitarnya. Apalagi setelah Pangeran Mangkubumi, pembela setia pangeran Diponegoro menyerah pada 27 September 1829, maka banyak sekali para Pangeran yang juga ikut menyerah, seperti Pangeran Adinegara yang disebut juga Pangeran Suryaningalaga (saudara Pangeran Diponegoro), Pangeran Arya Suryabrangta  (juga saudara Pangeran Diponegoro), Pangeran Ngabdulmajid, Pangeran Suriadipura, Pangeran Suryakusuma, Pangeran Aria Suriakusuma, Pangeran Dipasana (saudara Pangeran Diponegoro), Pangeran Adiwijaya (Putra Sultan Hamengku Buwono II), dan Panglima Besar Pangeran Diponegoro yaitu Sentot Ali Basah Prawiradirja yang menyerah pada Belanda tanggal 24 Oktober 1829.
Sementara di tanah Bagelen pada bulan September 1829, Tumenggung Cokrojoyo dapat mengalahkan dan menewaskan panglima perang bernama Pangeran Ngabehi Joyokusumo dan dua orang anaknya yang bernama Pangeran Gondokusumo dan Raden Mas Atmokusumo di Sangon, Gunung Kelir, perbatasan Bagelen - Kulon Progo dengan menggunakan pusaka keris Kyai Segoro Wedang yang dibantu oleh Ki Jayengkewuh dari Sucen. Dan pada tanggal 11 November 1829 Ali Basah Kertapengalasan yang juga merupakan Senopati perang bersama pasukannya menyerahkan diri kepada Tumenggung Cokrojoyo di benteng Bubutan.
Selain itu, kesaktian dan kepawaian Tumenggung Cokrojoyo juga mampu mengalahkan musuh-musuhnya yang lain, seperti Basah Yudosugardo dan Ki Condrogeni yang menyerang markas pasukan Belanda di Kedungkebo, Tumenggung Wingko yang dikalahkan di daerah Tumbak Anyar Lowano, dan Ali Basah Jayasendirga, Tumenggung Joyo Pawiro, dan beberapa Tumenggung lainnya yang akhirnya menyerah kalah di Kemiri pada bulan Desember 1829.
Awal tahun 1830, Pangeran Diponegoro dan pengikutnya semakin terdesak oleh Belanda. Pada tanggal 8 Januari 1830, Pangeran Dipakusuma, putra Pangeran Diponegoro dapat ditangkap Belanda, kemudian pada tanggal 18 Januari 1830 menyusul Patih Pangeran Diponegoro yang juga menyerah pada Belanda.
Tanggal 25 Pebruari 1830, Jenderal De Kock kembali ke Magelang setelah dia sebelumnya di Jakarta dalam persiapan pulang ke Belanda karena pada tanggal 16 Januari 1830 secara resmi pemerintahannya di Indonesia telah digantikan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch. De Kock kembali ke Magelang karena mendengar Pangeran Diponegoro dapat dibujuk Kolonel Cleerens menuju Magelang untuk berdamai dengan Belanda.
Pada tanggal 8 Maret 1830 jam 12 siang, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya yang berjumlah sekitar delapanratusan orang memasuki kota Magelang yang disambut dengan upacara kebesaran oleh pihak Belanda. Beliau disambut langsung oleh Jenderal De Kock beserta opsir-opsirnya, seperti Kolonel Cochius, Letnan Kolonel Roest, Residen kedu, dan pembesar-pembesar Belanda lainnya.
Namun dalam pertemuan ini tidak berlangsung lama karena Pangeran Diponegoro tidak mau diganggu selama bulan Ramadhan. Dan baru setelah Ramadhan habis, hari minggu pagi tanggal 28 Maret 1830, di tengah perayaan Idul Fitri, Pangeran Diponegoro kembali ke gedung Karisidenan Kedu di Magelang untuk melakukan perundingan. Dalam perundingan ini di pihak Belanda diwakili oleh Jenderal De Kock, Residen Valck, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Struest, dan Kapten Roeps sebagai juru bicara. Sedangkan di pihak Pangeran Diponegoro, diwakili oleh Pangeran Diponegoro, Pangeran Diponegoro Anom, Raden Mas Jonad, Raden Mas Raab (Ketiganya putra Pangeran Diponegoro), Basah Mertanegara, dan Kyai Badaruddin.
   Tetapi perundingan itu ternyata menjadi akhir perjuangan Pangeran Diponegoro di tanah Jawa, karena ternyata 28 Maret 1830 yang bertepatan dengan tanggal 2 syawal 1245 Hijriah jam 10 pagi, sejarah mencatat bukannya perundingan damai yang diputuskan, namun Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda dan diasingkan “dibuang” ke Manado

MENJADI KABUPATEN PURWOREJO
 Setelah ditangkapnya Pangeran Diponegoro 28 Maret 1830, perang besar di Tanah Jawa dan Tanah Bagelen khususnya dinyatakan telah selesai. Banyak korban berjatuhan dan kerugian harta benda yang tidak sedikit. Selama perang Diponegoro, Belanda mencatat telah kehilangan 8.000 serdadu Eropa, 7.000 serdadu Pribumi, dan diperkirakan mencapai 200.000 prajurit dan rakyat tewas, serta menelan biaya sekitar 20.000.000 Gulden.
Akibatnya Belanda menuntut ganti rugi atas perang yang terjadi baik pada Kasultanan Yogyakarta yang dianggap asal muasalnya terjadi perang dan Kasunanan Surakarta yang dianggapnya memiliki wilayah terlalu luas bila dibandingkan Kasultanan Yogyakarta.
Pada tanggal 22 Juni 1830, melalui sebuah perjanjian, Tanah Banyumas dan Bagelen diminta paksa oleh Belanda dari Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dengan janji bahwa Belanda akan memerintah wilayah tersebut atas nama Kasunanan Surakarta, tidak akan mengangkat Bupati selain yang telah ada, dan mengikuti saran Sunan Paku Buwono VI dalam setiap pengangkatan Bupati.
Setelah Bagelen jatuh ke tangan Belanda, Karesidenan Bagelen dibagi menjadi 4 Kabupaten, yaitu Kabupaten Brengkelan yang dipimpin oleh Tumenggung Cokrojoyo, Semawung oleh Tumenggung Notonagoro atau Sawunggalih II , Karangdhuwur dipimpin Tumenggung Mangunnagoro, dan Ngaran (Kuthowinangun) oleh Tumenggung Arungbinang.
Sebelum pengalihan kekuasaan atas tanah Kasunanan Surakarta ke pemerintahan Belanda, Tumenggung Cokrojoyo telah dilantik menjadi Bupati Brengkelan dengan gelar Raden Adipati Ario Cokronegoro dilaksanakan pada hari Rabu Wage tanggal 17 Besar tahun Jimawal 1757 Jawa atau 1425 H yang bertepatan dengan tanggal 9 Juni 1830 di Kedungkebo oleh Komisaris Belanda Van Sevenhoven dan diambil sumpah oleh Kyai Haji Akhmad Badaruddin, seorang kepercayaan Pangeran Diponegoro yang dulu juga turut serta mendampingi Pangeran Diponegoro ketika melakukan perundingan dengan Belanda di Magelang.
Setelah dilantik, Tumenggung Cokrojoyo bersama pemerintahan Belanda mulai menata daerahnya. Langkah pertama adalah menggabungkan dua kota kuno yaitu Brengkelan dan Kedungkebo menjadi sebuah kota baru dan Brengkelan dijadikan sebagai ibukota Karesidenan Bagelen.
Menurut pemikiran Tumenggung Cokrojoyo, nama Brengkelan kurang tepat untuk sebuah Kadipaten, karena mempunyai makna tidak mau mengalah atau brengkele atau brengkelo yang artinya mempertahankan pendapatnya sendiri, tidak mengindahkan nasehat, dan dikhawatirkan jika masih menggunakan nama Brengkelan, maka daerahnya sulit untuk maju, untuk itu Tumenggung Cokrojoyo mengusulkan agar Brengkelan dirubah namanya menjadi Purworejo yang lebih memiliki pemaknaan baik dari sebuah kata purwo berarti permulaan atau dahulu, dan rejo yang artinya kesuburan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Diharapkan dengan berganti nama Brengkelan menjadi Purworejo, maka daerah ini akan menjadi daerah yang  serba teratur dengan kehidupan rakyat yang serba makmur, kerta raharja, tidak ada lagi saling bermusuhan dan pertentangan.
Pemerintahan Belanda dan Kasunanan setuju dengan usulan Tumenggung Cokrojoyo tersebut, dan kemudian pada hari Sabtu, tanggal 14 Ramadhan tahun Je 1758 Jawa atau 1246 Hijriah yang bertepatan dengan tanggal 27 Pebruari 1831, dalam sebuah upacara peresmian yang dihadiri oleh segenap Aparatur pemerintahan Belanda, Bupati, Tumenggung, dan para undangan, maka Brengkelan dirubah namanya menjadi Purworejo yang diresmikan oleh Komisaris Lawick Van Pabs dan sekaligus memberikan gelar kepada Tumenggung Cokrojoyo menjadi Raden Adipati Aryo (RAA) Cokronegoro.
Perubahan nama ini tercatat dalam naskah Babad Kedhungkebo yang ditulis oleh Cokronegoro sendiri, yaitu Prapteng nagri Brengkelane karsa prikso tanah kutha Brengkelan sinung nomo negoro Purwarejaku Kyai Dipati Cokrojoyo nomo  Adiapati Cokronegoro.                                                                                                                                                                                        

KIPRAH RAA COKRONEGORO I UNTUK PURWOREJO

Purworejo dalam struktur pemerintahan di Jawa merupakan ibukota Karesidenan Bagelen yang dipimpin oleh seorang residen berkebangsaan Belanda. Regensschap Purworejo dipegang oleh seorang Bupati dengan pengawasan seorang Residen, seorang Wakil Residen, dua orang Asisten Residen, dan seorang Kontrolir sebagai pembantu.
Pejabat Pribumi yang berkuasa adalah Bupati, Wedono, dan Asisten Wedono. Kedudukan menengah terdapat golongan menengah kota yang terdiri dari orang-orang timur asing (Tionghwa dn Arab) yang berprofesi sebagai pedagang, kelompok pribumi yang terdiri dari pemuka agama (Kyai, Haji, dan Ulama). Sedangkan kedudukan terendah adalah masyarakat desa yang pada umumnya di pimpin oleh bekel dan dibantu oleh pembantunya yang disebut perabot desa.
RAA Cokronegoro I yang merupakan pemimpin tertinggi pribumi, bersama dengan pemerintahan Belanda, pasca pelantikannya segera melakukan banyak pembenahan dan pembangunan untuk Kabupaten Purworejo. Cukup banyak peninggalan kiprah RAA Cokronego I dalam pembangunan yang kemanfaatannya masih bisa dirasakan sampai sekarang, antara lain adalah Alun-alun, Pendopo Bupati, Kantor Bupati, Masjid Agung, Bedug Pendowo, Gereja, Saluran Kedung Putri,  Jalan Raya Purworejo-Magelang, Sekolah, dan lain-lain.
    
KOMPLEK PEMUKIMAN KEKUASAAN
Struktur kekuasaan masyarakat Jawa, seperti Bupati beserta keluarga dan kerabatnya merupakan bangsawan lokal yang mempunyai adat istiadat, gaya hidup, dan lambang-lambang yang polanya meniru pusat kerajaan.
Sebagai bangsawan lokal, RAA Cokronegoro I yang mengemban kebudayaan istana tentu akan mengembangkan kebudayaan tersebut dalam pemerintahannya. Di awal kekuasaannya, beliau mengembangkan tata kota sebagaimana halnya yang dikembangkan oleh Keraton. Namun tata kota atau komplek pemukiman yang di kembangkan RAA Cokronegoro I ini sungguh luar biasa penataannya dilakukan jaman itu. Jika tidak benar-benar timbul dari orang cerdas maka mustahil dapat dilakukan penataan komplek kekuasaan sedemikian hebat. Beliau mampu menghubungkan beberapa kepentingan yang menjadi padu.
Adalah dengan membuat alun-alun sebagai pusat kota yang bentuknya simetris dengan panjang masing-masing sisinya 250m yang dikelilingi oleh rumah Bupati sebelah  utara, bagian selatan Istana Residen Bagelen, sebelah barat dibangun masjid, sedangkan bagian timurnya adalah gereja.
Ke empat bagunan ini saling berhadapan dengan kepentingan yang berbeda namun padu. Rumah Bupati sebagai pusat kekuasaan pribumi berhadapan dengan istana Residen sebagai pusat kekuasaan kolonial Belanda dan Masjid sebagai pusat peribadatan orang Muslim berhadapan dengan gereja yang merupakan pusat peribadatan umat Kristiani.

ALUN-ALUN PURWOREJO
Alun-alun merupakan simbol otokrasi Jawa Kuno dengan pola tata kota feodal yang diyakini sebagai simbol kejayaan sebuah negara, kerajaan, kadipaten atau kabupaten.
Alun-alun Purworejo mungkin yang terluas di Jawa Tengah. Luas alun-alun Purworejo berkisar enam hektar lebih dengan bentuk segi empat yang panjang sisinya masing-masing sekitar 250 meter dan di tengahnya ditanami sepasang pohon beringin seperti halnya alun-alun kerajaan di keraton Surakarta atau Yogyakarta.
Di sebelah utara alun-alun dibangun dua paseban yang berfungsi sebagai tempat beristirahat bagi orang yang ingin menghadap bupati. Alun-alun ini, selain sebagai simbol kejayaan juga merupakan pusat kota yang sangat penting keberadaannya.

PENDOPO KABUPATEN
 Salah satu lambang kebangsawanan yang ditunjukkan RAA Cokronegoro I adalah dengan membangun tempat kediaman yang dikembangkan seperti struktur istana, yaitu dengan membuat tempat tinggal di atas tanah berukuran 240 x 260 meter terdiri atas pendapa dan dalem bupati yang terintegritas langgam dengan ditunjukkan pada perpaduan gaya tradisional (pendopo dan bentuk atap joglo) dengan gaya indische architecture (adanya bukaan lebar dan selasar) mirip dengan bangunan Pendopo Kraton Surakarta, yang dibangun sekitar tahun 1833 dengan menggunakan kayu jati tua berumur ratusan tahun yang diambil dari desa Bragolan tempat kediaman orang tua RAA Cokronegoro I.
Bangunan pendapa yang merupakan bangunan terbuka tanpa dinding, setangkup, atap joglo ditutup genteng plentong kodok, dan listplank motif geometris menghadap alun-alun ini merupakan tempat bupati menerima tamu atau tempat pertemuan yang dibangun cukup luas.
Lantai teras dan emper berbahan keramik, sedangkan bagian dalam beralaskan ubin tegel. Plafon kayu menempel usuk dengan balok-balok kuning yang kelihatan di bawahnya. Atap ditopang dengan empat saka guru, 12 saka rowo, dan 20 saka emper terbuat dari kayu jati perseni serta saka goco dari besi.
Pada bagian saka guru tidak ketinggalan dihiasi ornamen daun warna emas berdiri di atas umpak batu dengan mustaka melebar dihiasi motif daun warna emas. Saka emper dan saka rowo dihubungkan dengan balok-balok gantung sebagai penguat.
Di pertemuan antara saka rowo dan murplat dihiasi ornamen daun warna emas. Pada sisi utara dan sebagian timur dan barat terdapat pagar kayu. Sementara entrace bangunan berupa kanopi, atap pelana ditutup genteng pres kodok dan ditopang empat buah saka besi. Gunungan depan ditutup sopi-sopi kayu.
Bagian kedua berupa bangunan induk yang sekarang digunakan sebagai tempat tinggal Bupati Purworejo. Bangunan ini dihubungkan oleh selasar, atap pelana ditutup genteng pres kodok yang ditopang dengan empat buah kolom kayu persegi.
Bangunan induk ini memiliki denah persegi panjang, atap limasan majemuk ditutup genteng pres kodok dengan listplank motif geometris, lantai keramik dan plafon kayu. Entrace bangunan berupa ruang teras menjorok ke dalam yang ditopang empat kolom masif persegi berderet-berdiri di atas umpak. Di sisi-sisinya terdapat pilaster sejajar dengan empat buah kolom di tengah dan berdiri di atas umpak.
Untuk mobilitas penghuninya terdapat pintu utama tinggi bentuk dobel, yaitu kupu tarung panil empat buah dengan jendela tinggi dan kupu tarung panil kaca sebelah dalam dengan bouvenlicht kaca di atasnya. Bangunan induk berbentuk dobel, kupu tarung panil krepyak kayu sebelah luar dan kupu tarung panil kaca sebelah dalam.
Lain lagi di sisi barat dan timur bagian tengah bangunan, terdapat teras menjorok ke dalam yang ditopang dengan tiga buah kolom masif persegi dibatasi pagar kayu berornamen. Bagunan induk itu dibatasi pagar dinding pada pintu masuk kupu tarung panil kayu dengan bovenlicht lengkung ram kayu di atasnya.
Tanah tempat kediaman Bupati ini miring dari utara ke selatan yang dalam Serat Kaweruh Kalang dinamakan Tanah Indrapasta atau Tanah Telaga Ngayudho atau Tanah Batoro. Menurut kepercayaan bahwa barang siapa yang tinggal di sana akan mudah terpenuhi keinginannya yang kekayaannya dapat dinikmati hingga anak cucu. Selain itu, rumah bupati ini mempunyai arti filosofis dengan Keraton Surakarta. Sumbu imajiner utara-selatan dipegang teguh karena sumbu ini merupakan garis sakral.
Dalam kosmologi Jawa, arah selatan menghadap Samudera Indonesia, tempat berkuasanya Nyi Roro Kidul yang dipercaya sebagai penguasa Laut Selatan. Selain itu, dimaksudkan untuk tidak membelakangi Keraton Surakarta yang dihormatinya

MASJID AGUNG PURWOREJO
 Kabupaten Purworejo yang mayoritas beragama Islam dan RAA Cokronegoro I  sendiri merupakan orang islam taat yang pernah berguru pada seorang Kyai besar dari Mlangi yaitu Kyai Taftazani, membuat beliau berkepentingan untuk membuat masjid sebagai sarana melaksanakan peribadatan.
Selama pemerintahannya tercatat sekurang-kurangnya 5 buah masjid telah di bangunnya. Semuanya diduga berasitektur tradisional Jawa dengan sokoguru berumpak Yoni (Yoni adalah batu persegi yang melambangkan Dewi Durga yang disembah oleh penganut agama Hindu) . Masjid-masjid khas tersebut tersebar di berbagai tempat yakni di Banyuurip, Tanggung, Jenar, Purwodadi, dan Purworejo. Namun bangunan masjid yang paling megah dan keberadaannya masih menjadi kebanggaan Kabupaten Purworejo  hingga sekarang adalah Masjid Agung Purworejo yang sekarang lebih di kenal dengan Masjid Jami’ Darul Muttaqin ini tak kalah megahnya dengan Masjid Demak, bertempat di sebelah barat alun-alun Purworejo.
Masjid yang dibangun di atas tanah yang luasnya sekitar 8.825 meter persegi ini, dibangun sekitar  tahun 1832, tetapi ada sumber lain yang menuliskan pada tahun 1831. Namun prasasti di atas pintu utama masjid yang masih bisa dibaca hingga sekarang yang ditulis dalam tiga bahasa tertulis 1763  tahun Jawa atau bertepatan dengan tahun 1834.
Prasasti tersebut tertulis sebagai berikut :
1.   Baris pertama       :
Huruf Belanda (Telah terhapus)
Bunyinya     : Residen A.I. Ruitenback
2.   Baris kedua : Huruf Jawa
Bunyinya     : R.A. Cokronagoro Kaping I
3.   Baris Ketiga : Huruf Jawa
Bunyinya     : Mas Patih Cokrojoyo
4.   Baris keempat      : Huruf Arab
Bunyinya    :Penghulu Landrad Hajji Akhmad Badaruddin dan penghulu Hajji Muhammad Baidhowi
5.   Baris kelima : Angka tahun Jawa
Bunyinya     :Guna Sad Giri Bumi atau jika diterjemahkan menjadi tanggal 2 besar tahun 1763 yang bertepatan dengan 16 April 1834
Pada awalnya ukuran masjid adalah 21 x 21 meter, serambi berukuran 21 x 8 meter dan menggunakan model brunjungan yang tingginya 23 meter. Bentuk Arsitektur atau corak masjid ini meniru bentuk masjid di Keraton Surakarta, karena memang Sang Bupati ketika masih mudanya merupakan Abdi Dalem Keraton Surakarta dan cukup lama tinggal di sana.
Landasan (umpak) dari tiang utama (sokoguru) terbuat dari batu-batu persegi bekas Yoni, batu pemujaan umat Hindu yang diambil dari tepi sungai Bogowonto, sementara sokogurunya yang berjumlah 4 tiang berukuran 0,54 x 0,54 meter dan tingginya 15 meter terbuat dari kayu jati kuno yang didatangkan dari desa Bragolan-Purwodadi, dan 12 soko rowo persegi atau tiang pembantu tiang utama berukuran 0,7 x 0,7 meter yang dihubungkan dengan balok gantung rangkap yang terbuat dari batu bata.
Serambi masjid yang pada awalnya berukuran 21 x 8 meter dan berbentuk Limasan Trajumas telah mengalami beberapa kali perubahan karena direnovasi. Seperti misalnya renovasi pada tahun 1940an, Dibagian depannya diberi topengan seperti Masjid Pura Mangkunegaran dengan hiasan kaligrafi di atasnya. Namun pada tahun 1950, ornamen Topengan bagian depan masjid dihilangkan karena serambi diperluas. Atapnya dibuat limasan, sehinggga menjadi dua buah atap limasan Trajumas.
Pada tahun 1976-1977, pada masa Bupati Letkol Supantho, ukuran serambi dirubah menjadi dua kali lipatnya, yaitu 21 x 16 meter. Atap serambi dirubah bentuknya menjadi Kubah lengkungan setengah bola. Tiang kayu diganti dengan tiang beton dan sebagian atap dibuat daag beton.
Pada tahun 1993, ketika bupatinya H.Goeritno, kembali dilakukan renovasi. atap serambi dikembalikan pada bentuk atap limasan dua buah, dan ukurannya diperluas hingga menjadi 21 x 25 meter, juga menambah menara masjid setinggi 25 meter.
BEDHUG PENDAWA

Bedhug Pendowo mempunyai ukuran luar biasa besar, terbuat dari sebatang kayu jati utuh tanpa sambungan merupakan bedhug terbesar di Indonesia bahkan di Dunia, yaitu dengan ukuran panjang 292 cm, lingkaran bagian depan 601 cm, lingkaran belakang 564 cm, diameter bagian depan 194 cm dan diameter bagian belakang 180 cm, dibuat pada tahun 1834 di bawah pengawasan Wedono Jenar, yaitu Raden Ngabehi Prawironegoro adik kandung RAA Cokronegoro I. 
Bedhug Pendowo tersebut dibuat dari pangkal batang pohon jati bercabang lima yang dulu tumbuh di Dukuh Pendhowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi, sekitar 9 kilometer arah selatan Kota Purworejo. Pangkal batang pohon jati yang memiliki garis tengah lebih dari dua meter dengan ketinggian pohonnya mencapai puluhan meter ini usianya sudah ratusan tahun.  Pangkal batangnya digunakan untuk membuat sebuah bedhug, sementara cabang-cabang pohonnya digunakan untuk membangun masjid dan pendopo kabupaten.
Begitu besarnya ukuran pangkal batang tersebut sehingga pembuatan bedhug dilakukan ditempat. Pembuatan bedhug memakan waktu berbulan-bulan. Untuk menembus batang kayu membutuhkan waktu pembakaran sekitar tiga bulan, untuk merapikannya membutuhkan waktu sekitar dua bulan, dan untuk pengangkutan bedhug tersebut membutuhkan waktu sekitar 21 hari. 
Untuk memimpin pengangkatan Bedhug Pendowo ini dari dukuh Pendowo, desa Bragolan, Kawedanan Purwodadi ke Purworejo, ditunjuk seorang menantu Tumenggung Prawironegoro, yaitu Kyai Haji Muhammad Irsyad dari desa Solotihang, Lowano.
Agar awet dan bertahan lama , Bedhug  Pendhowo menggunakan kulit banteng dari Desa Sucen persembahan dari Glondhong Jayeng Kewuh yang tak lain teman seperjuangan Cokronegoro I, dan  untuk menambah gaung suara, di dalam Bedhug Pendhowo digantungkan 2 gong. Sementara untuk memaku kulitnya dibutuhkan 112 buah untuk depan dan 98 buah pada bagian belakang yang terbuat dari kayu jati.
                                                                                                                      GEREJA PROTESTAN
Berseberangan dengan masjid Agung Purworejo, di sisi sebelah timur alun-alun, dibangun pula sebuah gereja Kristen Protestan atau Indische Kerck. Gereja dengan arsitektur Eropa beratap pilar dan pilaster bergaya Yunani (neoghotic)  itu sekarang lebih di kenal dengan nama Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Purworejo yang yang dibangun di atas tanah seluas 1.450 meter persegi.
Gereja tersebut merupakan gereja pertama di Tanah Bagelen yang awalnya hanya diperuntukkan bagi kepentingan sekelompok orang Belanda Elite, pegawai pemerintah sipil maupun militer, serta pengawas perkebunan.
Gereja ini pernah di pugar pada tanggal 12 November 1879 dengan arsitektur gaya Eropa yang dicirikan dengan adanya pilar dan pilaster di bagian depan bangunan. Pada bagian depan bangunan gereja terdapat teras berdenah ukuran 1,5 x 3 meter berada di depan pintu utama. Penutup teras dari beton bertulang berbentuk lengkung setengah lingkaran yang ditahan oleh 2 pilar kolom dengan garis tengah 50 cm, dan 2 buah pilaster. Konstruksi pilaster dan kolom tersebut sekaligus merupakan penahan struktur menara lonceng setinggi 15 meter dari lantai.
Sedangkan, bangunan utama gereja ini berdenah ukuran 8 x 23 meter. Dilihat dari struktur bangunannya, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu bangunan utama dan bangunan pelengkap. Bangunan utama memiliki ukuran 8 x 15 meter. Atap bangunan berbentuk pelana dengan kemiringan 50 derajat, tanpa tritisan. Konstruksi atap kuda-kuda dari kayu jati dengan penutup atap genteng flams. Kuda-kuda berjarak 3 meter menumpu pada pilar tembok ukuran 60 x 60 cm, dan dinding setebal 30 cm dengan ketinggian beberapa meter dari lantai. Di atas tembok sisi utara dan selatan terdapat talang kantong gorong-gorong air, dan pralon.  Langit-langit bangunan utama terbuat dari kayu jati berada di bawah kuda-kuda. Secara structural, bangunan utama terdiri dari satu ruangan dengan satu buah pintu utama dan lima buah pintu penghubung serta sebagai penerangan terdapat delapan buah jendela. Jendela berbentuk lengkung lancip pada puncaknya. Secara fungsional bangunan utama memiliki tiga ruangan, yaitu ruang mimbar, ruang jemaat, dan ruang transit.
                                                                                                                       SALURAN KEDHUNG PUTRI
 Bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung, jalan sekitar alun-alun, rumah kediaman Bupati, perbaikan jalan yang menuju Kedhung Kebo,  RAA Cokronagoro I juga membangun saluran irigasi dengan memanfaatkan Sungai Bogowonto.
Gagasan itu muncul ketika beliau masih perang, melihat banyak lahan pertanian yang rusak dan petani di daerahnya sering sekali kesulitan air sehingga sering terjadi gagal panen. Beliau berniat ingin mengembalikan kejayaan Tanah Bagelen seperti sebelum terjadi Perang Jawa. Niat beliau ini di sampaikan pada Residen Bagelen bernama J.H.W Smissaert yang kemudian menyetujui dengan catatan bahwa beliau juga harus melibatkan para priyayi dan para tetua. Sehingga setelah semuanya setuju, maka pada hari kamis, tanggal 1 syawal tahun Be 1760, atau tanggal 3 Mei 1832 bertepatan dengan awal musim kemarau, penggalian tanah guna pembuatan saluran air di sepanjang tepi gunung Desa Penungkulan hingga sampai ke Gunung Geger Menjangan dan langsung ke Purworejo dimulai. Pekerjaan itu seluruhnya diserahkan pada empat Wedana dengan mengerahkan 5000 orang setiap harinya.  Di kiri kanan saluran irigasi tersebut dibuat tanggul selebar dua meter. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi banjir saat air melimpah tanggul tersebut ditanami rumput. Pada setiap jarak dua kilometer dibuat pembagi air. Dan setelah memakan waktu sekitar satu setengah tahun, saluran air yang mengambil dari Sungai Bogowonto dan membelah kota Purworejo tersebut selesai pembuatannya, dan kini dikenal dengan nama Kali Kedhung Putri.

JALAN RAYA PURWOREJO-MAGELANG
Karya besar lain dari RAA Cokronegoro I yang kemanfaatannya masih dirasakan sampai sekarang adalah dengan dibuatnya jalan raya Purworejo – Magelang sepanjang 40 km lebih, bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Pembangunan sarana transportasi berupa jalan ini dimulai dari tahun 1836. Pada saat itu dibangun jembatan konstruksi batu bata pada sungai Bengkal di distrik Loano, diperkuat dengan konstruksi kayu jati dan glugu. Tahun 1838 dibuat pula jembatan pada sungai Bagawanta sepanjang 200 kaki, lebar 24 kaki dan tinggi 9 kaki.
Jalan baru alteratif ini dilaksanakan secara gotong royong dan setelah selesai dibuatlah tugu prasasti yang sekarang berada di desa Bener.
Berdasarkan prasasti tugu peringatan yang tertulis di tubuh yang ditulis dengan bahasa Belanda berbunyi, “Deze weg is daargesteld onder het bestuur der Residen van Bagelen Jonkh JGOS Don Schmidt Auf Altenstadt En R De Filletaz Bousqet En onder mederwerking van Raden Adipati Tjokronegoro Regent van Purworejo In de jarem 1845-1850”. Yang jika diterjemahkan berbunyi “Jalan ini sudah dibangun beberapa tahun lalu, ketika Karesidenan Bagelen diperintah oleh Jonkh JGOS Don Schmidt setelah menugaskan R De Filletaz Bousqet dan jalan dikerjakan oleh Raden Adipati Tjokronegoro Bupati Purworejo pada tahun 1845-1850”. Maka dapat disimpulkan bahwa jalan Purworejo-Magelang dibangun oleh RAA Cokronagoro I tahun 1845-1850. Namun tugu itu sendiri baru dibangun pada tahun 1862.

PENUTUP 
Kebenaran yang hakiki atau kebenaran yang mutlak adalah kebenaran yang datang dari Tuhan. Manusia memiliki kelebihan dari mahkluk lainnya melalui akal pikiran dan budi nuraninya. Namun kemampuannya dalam menggunakan akal pikiran dan budi nuraninya tersebut terbatas, sehingga manusia yang satu dan yang lain tidak memiliki tingkat kemampuan yang sama dalam memandang suatu hal sehingga menimbulkan perbedaan pendapat, dan persepsi yang berbeda.
Itulah yang terjadi pada diri RAA Cokronegoro I dan Pangeran Diponegoro. Dua insan yang awalnya merupakan saudara satu perguruan dalam asuhan Kyai Taftazani, terpaksa  harus berseberangan dalam hal memaknai kesetiaan terhadap tanah airnya. Pangeran Diponegoro, memaknai negaranya adalah bangsa orang Jawa seluruhnya dan tidak mau tunduk terhadap pemerintahan Belanda, sementara RAA Cokronegoro I memaknai bahwa negaranya, Negara yang saat itu mempunyai kekuasaan penuh pada suatu wilayah yang dikuasai.
Kasunanan Surakarta dan seluruh wilayah kekuasaannya termasuk Tanah Bagelen adalah negaranya, karena saat itu belum ada Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga sangatlah wajar jika RAA Cokronegoro saat itu akan tetap setia dan loyal pada negaranya yaitu Kasunanan Surakarta.
Secara langsung ataupun pribadi, tidak ada referensi yang menyatakan bahwa antara Pangeran Diponegoro dan RAA Cokronegoro I saling bermusuhan, justru saat Pangeran Diponegoro dituduh Belanda yang menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro dalam perangnya melawan Belanda sebagai ambisi pribadi Pangeran Diponegoro yang ingin menjadi Sultan Jawa, RAA Cokronegoro I membantahnya dalam Babad Kedungkebo tulisannya sendiri, dan menyatakan bahwa perjuangan Pangeran Diponegoro adalah murni menentang penjajahan kaum kafir Belanda bukan ambisi pribadi. Selain itu, dalam Babad Kedungkebo juga dituliskan, bahwa RAA Cokronegoro I tidak memusuhi Pangeran Diponegoro bahkan menyebutnya sebagai Yayi Ontorwiryo, sebutan tanda kasih sayang dan penghormatan beliau.
RAA Cokronegoro I tidak memihak Belanda, namun beliau adalah seorang prajurit Kasunanan Surakarta yang loyal terhadap negaranya, sehingga saat mendapat perintah dari Sunan untuk menjadi Senopati perang di wilayah Bagelen, beliau harus tetap loyal dan patuh atas perintah tersebut, karena saat itu antara Belanda dan Kasunanan telah terikat perjanjian untuk saling membantu.
Pengangkatan RAA Cokronegoro menjadi Bupati Brengkelan adalah bentuk penghargaan Kasunanan Surakarta terhadap beliau, karena yang mengangkat beliau menjadi Bupati adalah Sunan Pakubuwono walaupun atas persetujuan Belanda. Sementara pihak Belanda yang telah terikat perjanjian dengan Kasunanan tidak mengganti beliau walaupun kekuasaan atas wilayah itu telah beralih dari Kasunanan ke Belanda.
Diakui atupun tidak, namun fakta membuktikan,bahwa kiprah RAA Cokronegoro I untuk Purworejo kemanfaatannya masih bisa dinikmati sampai sekarang. Perubahan nama Brengkelan menjadi Purworejo, keberadaan Alun-alun, Masjid Agung dan Bedugnya, Pendopo, Saluran Kedung Putri, juga jalan raya Purworejo – Magelang, adalah bukti nyata kecintaan RAA Cokronegoro I terhadap Purworejo. Ini fakta dan tidak bisa dipungkiri.
Bangsa yang baik adalah bangsa yang mau menghargai jasa-jasa pahlawannya. Pahlawan dalam arti luas adalah seseorang yang telah berjasa terhadap bangsa (wilayahnya) yang karena perbuatannya telah berhasil memberikan kemanfaatan bagi kepentingan orang banyak.
Sementara manusia itu tidak mungkin terlepas dari salah dan dosa, namun manusia yang baik adalah manusia yang mau memaafkan kesalahan masa lalunya, menutupi kejelekan orang lain dan mengangkat tinggi kebaikan-kebaikannya, seperti Rasulullah yang telah melupakan dan memaafkan perbuatan Umar bin Khatab terhadap masa lalunya sebelum Umar masuk Islam.         

Semoga Bermanfaat!!!!!!!!!!
   

Supriyo, adalah guru Matematika di MTs Negeri Bener Purworejo. Mengawali karir pendidikannya dari TK Kenari, Kelas 1 SDN 2 Desa Seren Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo. Saat beberapa bulan di kelas 1 SD, ikut orang tua Transmigrasi di Desa Lantak Seribu Pamenang VII/A3 Kecamatan Pamenang Kabupaten Sarko Jambi, hingga kelas 1 SMA. karir SMP di SMP Negeri 2 Pamenang.
Saat Kelas 2 Pindah ke Jogja dan meneruskan di MAN Godean hingga tamat dan setelah itu diterima di IAIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta Jurusan Matematika, lulus tahun 2004.  Mulai Januari 2005 Menjadi PNS di Kemenag Purworejo yang ditempatkan di MTs Negeri Bener hingga sekarang.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               





















































Tidak ada komentar: