Kamis, 26 Februari 2015

KECERDASAN EMOSI, AQ, DAN SELF EFFICACY TERHADAP KECEMASAN UJIAN NASIONAL



Ujian Nasional (UN) sejak lama menjadi momok yang menakutkan bagi siswa. Tes yang diadakan di akhir masa studi ini seolah menjadi penentu keberhasilan siswa selama menempuh pendidikan. Pro kontra keberadaan ujian nasional   pun meluas, namun menurut Muhammad Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), apabila Ujian Nasional tidak dilaksanakan, maka pemerintah melanggar peraturan yang telah ditetapkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005, untuk itu Ujian Nasional tetap perlu dilanjutkan guna mengukur tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar di setiap daerah. Hasil UN digunakan sebagai evaluasi dan pemetaan perkembangan kualitas pendidikan nasional. Selain itu, UN juga diperlukan untuk menjadi tolok ukur pemerintah dalam mengontrol perbaikan mutu pendidikan secara nasional (Kemdikbud, 2013).
Standar  nilai kelulusan Ujian Nasional sejak diundangkan tahun 2003 selalu mengalami peningkatan. Mulai tahun 2003 dan 2004 yang masih menggunakan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) nilai kelulusan ditetapkan  3,01 dan  4,01. Tahun  2005 hingga sekarang dirubah namanya menjadi Ujian Nasional (UN) yang standar kelulusannya selalu merangkak naik. Pada tahun 2005 dan 2006 ditetapkan nilai minimal tiap mata pelajaran adalah 4,25 sedangkan nilai minimal rata-rata kelulusan 4,25 dan 4,50. Pada tahun 2007 nilai minimal tiap mata pelajaran dan nilai minimal rata-rata sama yaitu 5,00. Tahun 2008 sampai dengan 2010 nilai minimal setiap mapel ditetapkan 4,25 sementara nilai rata-rata kelulusan 5,25 untuk tahun 2008 dan 5,50 untuk tahun mulai 2009 sampai dengan sekarang. Mulai tahun 2011 sampai dengan sekarang nilai rata-rata kelulusan tetap 5,50 namun untuk nilai lulus tiap mapel diturunkan menjadi 4,00 (http://id.wikipedia.org, 2014).
Tingkat ketidaklulusan Ujian Nasional dari tahun ke tahun relatif masih cukup tinggi. Ujian Nasional pada tahun pelajaran 2011/2012 tingkat SMP dan sederajat yang tidak lulus mencapai 15.945 siswa atau 0,43% dari 3.697.865 peserta UN SMP/MTs seluruh Indonesia, yang terbanyak gagal dalam mata pelajaran Matematika, kemudian diikuti Bahasa Inggris, IPA, dan Bahasa Indonesia.  Dari 15.945 siswa yang tidak lulus tersebut, siswa yang tidak lulus mata pelajaran matematika adalah 1.330 siswa atau 8,34%, Bahasa Inggris 840 siswa atau 5,70%, IPA 666 siswa atau 4,18, dan Bahasa Indonesia 343 siswa atau 2,15% (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012).
Ujian Nasional tahun pelajaran 2012/2013 siswa yang tidak lulus Ujian Nasional mengalami kenaikan sebesar 0,02% dari 3.667.241 peserta UN tingkat SMP/MTs seluruh Indonesia, sebanyak 16.616 atau 0,45% siswa tidak lulus (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Untuk distribusi ketidaklulusannya, sebanyak 16.593 peserta ujian yang tidak lulus dikarenakan rata-rata nilai akhir kurang dari 5,5. Jika hanya menggunakan UN murni sebagai penentu kelulusan, hanya 44,45% siswa peserta UN SMP/MTs yang bisa lulus. Adapun distribusi ketidaklulusan yang disebabkan rerata nilai akhirnya di bawah 5,5 sebanyak 1.406.207 atau 38,35% (Ihsan, 2013).
Jumlah siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional tingkat SMP/MTs dan sederajat Tahun Pelajaran 2013/2014 sebanyak 2.335 orang. Jumlah itu 0,06 persen dari total peserta ujian nasional yakni 3.773.372 orang dan jumlah siswa yang dinyatakan lulus mencapai 3.771.037 atau sebesar 99,94%. (Suara Pembaruan, 2014).
Berbagai penolakan terhadap UN membuat pemerintah mengkaji ulang. Rencana pelaksanaan UN Tahun Pelajaran 2014/2015, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan,  tengah dikaji keberlanjutan dan reposisi Ujian Nasional tersebut. Menurut Anies, kajian tersebut dilakukan untuk mencari titik temu antara dua sisi pelaksanaan ujian nasional (UN), yaitu satu sisi ingin memastikan bahwa anak-anak memiliki standar yang baik dan memadai dan disisi lain, membuat proses ujian atau tes bukan sesutau yang membenani, mengerikan, bahkan mengubah orientasi belajar. Sejalan dengan hal tersebut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku penyelenggara UN sedang mempersiapkan perubahan pelaksanaan Ujian Nasional 2015 menjadi evaluasi nasional yang salah satu kajiannya adalah ingin mengembalikan ujian tahunan itu  kembali ke fungsi evaluasi  (ENAS)  dan mungkin penentuan kelulusan ujian 2015 nanti dikembalikan ke sekolah (Mulyana,  2014), menurut Mendikbud, Pemerintah tidak akan menghapus Ujian Nasional. Namun, hasil Ujian Nasional tidak jadi tolok ukur kelulusan. Ujian Nasional 2015 hanya dijadikan pemetaan pemerataan kualitas pendidikan nasional (Hariawan, 2014).
Niat baik Pemerintah untuk mengkaji ulang pelaksanaan Ujian Nasional memang perlu disambut baik dan positif bagi penyelenggara pendidikan di lapangan. Namun walaupun Pemerintah sudah ada sinyal baik seperti itu, di tataran penyelenggara pendidikan masih banyak terlihat aktivitas persiapan ujian yang tidak beda dari tahun ke tahun. Berbagai kegiatan sekitar persiapan UN mulai dilakukan, seperti menghabiskan materi pelajaran satu tahun di semester ganjil agar nanti di semester genap tinggal membahas soal-soal yang berhubungan dengan Ujian Nasional. Melaksanakan try out UN, melakukan belajar tambahan (les) mapel UN yang telah dilakukan di semester ganjil bahkan di hari liburan semester ganjil, orang tua memasukkan anaknya di lembaga bimbingan belajar atau les privat di rumah.
Persiapan-persiapan yang tidak ada bedanya dari tahun-tahun lalu saat menjelang Ujian Nasional ini tanpa disadari oleh para pendidik dan orang tua telah membawa anak pada sebuah momen sulit yang dirasakan pada mental dan psikologisnya. Perasaan cemas, takut dan gelisah akan menghinggapinya sebagai bentuk beban yang timbul pada mental dan psikologis anak dalam menghadapi Ujian Nasional, sehingga tetap saja
setiap menjelang pelaksanaan Ujian Nasional akan menciptakan berbagai
bentuk tekanan yang menyebabkan siswa menjadi stres.
Ari (2012) pada liputan khusus Harian Jogja, menyimpulkan beberapa hal yang menjadi faktor penyebab siswa menjadi stres ketika menghadapi stres Ujian Nasional adalah bukan hanya berasal dari dalam diri siswa atau lingkungan keluarga saja, tetapi perbedaan sistem belajar yang diterapkan setiap sekolah menyebabkan anak menjadi tertekan
sebelum Ujian Nasional diadakan. Setiap sekolah menerapkan pola pembelajaran melalui ujian try-out, pemantapan sekolah, maupun ujian-ujian dalam bentuk lainnya bertujuan untuk memotivasi siswa agar mencapai standar kelulusan yang diharapkan oleh Departemen Pendidikan. Keadaan yang membuat siswa terus digenjot dengan pemberian ujian-ujian try-out rutin dan materi pelajaran berdampak pada jadwal siswa yang semakin padat di sekolah terlebih lagi jika terdapat
orang tua siswa yang memasukan anaknya untuk mengikuti kegiatan bimbingan belajar di luar sekolah, tidak menutup kemungkinan timbulnya
kelemahan-kelemahan yang berpengaruh negatif pada diri siswa.
Seperti yang terjadi pada siswa MTsNegeri Bener yang sudah mulai terlihat merasa tertekan dan cemas dengan padatnya jadwal penambahan belajar (les) dan rencana pelaksanaan Tes Uji Coba (TUC) Ujian Nasional yang jadwalnya sudah terpasang di setiap kelas yaitu, TUC pertama pada tanggal 26 sampai dengan 29 Januari 2015, TUC kedua tanggal 25 sampai dengan 28 Februari 2015, TUC ketiga tanggal 6 sampai dengan 9 April 2015 dan TUC keempat tingkat KKM (Kelompok Kerja Madrasah) Kabupaten Purworejo yang jadwalnya tanggal 22 sampai dengan 25 April 2015..
Hasil TUC pertama dari 269 peserta memperlihatkan hasil yang masih sangat rendah dengan rata-rata masing-masing mata pelajaran untuk  Bahasa Indonesia 7.28, Matematika 3.65, Bahasa Inggris 4.45, dan IPA 4.59, sedangkan rata-rata keseluruhan adalah 4,99. Dari hasil TUC pertama itu terlihat pelajaran matematika menduduki peringkat yang paling rendah yaitu 3.65, sehingga matematika menjadi mata pelajaran yang paling ditakuti siswa saat Ujian Nasional.
Mata pelajaran matematika dianggap sebagian siswa sebagai mata pelajaran yang sukar dan biasanya belajar matematika memerlukan konsentrasi tinggi. Mereka menganggap matematika suatu pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan menjadi beban bagi siswa karena bersifat abstrak, penuh dengan angka dan rumus. Pikiran buruk siswa mengenai matematika atau kurang siapnya siswa pada ujian matematika tersebut dapat menjadi pemicu timbulnya kecemasan Matematika.
Kecemasan matematika (Mathematics Anxiety) menurut Ashcraft dan Faust (Susanti, 2011) memberikan pengertian bahwa kecemasan matematika adalah perasaan tertekan, kegelisahan bahkan ketakutan yang tercampur dengan kesalahan yang luar biasa pada angka dan memecahkan soal matematika. Sedangkan kecemasan matematika menurut Dreger & Aiken (Kusumawati, 2005), yaitu gejala atau reaksi emosional terhadap aritmatika dan matematika. Siswa yang mengalami kecemasan matematika menunjukkan sikap tidak mau belajar, merasa rendah diri, merasa tidak ada artinya belajar matematika, kebingungngan, gugup, gelisah, khawatir, serta mengalami gangguan fisiologis. Kecemasan matematika ini muncul dari rasa takut siswa terhadap tugas-tugas yang berkaitan dengan rumus matematika, ujian atau pada saat pelajaran matematika karena akan merasa gagal, tidak mampu mengikuti pelajaran matematika, dan ketakutan akan mendapat nilai yang jelek (Yoenanto, 2001). Kecemasan Matematika pada siswa bisa berdampak terhadap suasana tidak nyaman selama proses pembelajaran berlangsung. Akibatnya, Matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit, karena karakteristik Matematika yang bersifat abstrak, logis, sistematis, serta penuh dengan lambang dan rumus itu yang membingungkan para siswa (Budiman, 2014).
Wawancara awal dengan beberapa siswa kelas sembilan MTs Negeri Bener Kabupaten Purworejo yang merupakan peserta didik dari peneliti sendiri ditemukan masalah bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap paling berat dalam Ujian Nasional. Matematika sangat berbeda dengan mata pelajaran lain yang diujikan. Mereka mengalami kesulitan seperti kesulitan menghafal rumus, menerapkan rumus dalam pemecahan masalah, soal-soalnya sulit dipahami, ketakutan menghadapi guru matematikanya, jenuh, pengalaman kakak kelas yang banyak tidak mampu mengerjakan soal matematika dan lain sebagainya. Dalam situasi yang demikian, mereka dapat dikatakan mengalami kecemasan.
Sebagian guru MTs Negeri Bener juga menyatakan kekhawatiran mereka mengenai kesiapan anak didik dalam menghadapi UN yang akan dilangsungkan. Kecemasan itu disebabkan dari ketidakpercayaan diri siswa dalam menghadapi ujian yang kemudian meluas menjadi rasa takut, cemas dan malu. Siswa takut dan cemas dalam menghadapi ujian, mereka takut jika hasil yang diperoleh tidak dapat memenuhi standar yang telah ditentukan. Mereka akan malu kepada orang tua, guru dan teman bila tidak lulus. Bayangan pemikiran seperti inilah yang akan menimbulkan kecemasan pada siswa, keadaan seperti ini yang membuat konsentrasi siswa terpecah dan justru akan mengganggu juga merugikan mereka sendiri.
Sebenarnya kecemasan adalah gejala yang umum dan normal pada setiap individu. Hal yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana tingkat kecemasan menghambat aktivitas individu di segala aspek.  Menurut Back (Hurlock, 2006) seseorang yang memiliki  kecerdasan emosi (Emotional Quotient) yang baik, akan lebih mampu mengatur emosinya sehingga dapat meminimalisasi atau bahkan menghindari perasaan cemas dalam menghadapi Ujian Nasional. Goleman (2007) menyatakan bahwa individu yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan lebih luas pengalaman dan pengetahuannya daripada individu yang lebih rendah kecerdasan emosinya. Individu yang kecerdasan emosinya tinggi akan lebih kritis dan rasional dalam menghadapi berbagai macam masalah. Dengan demikian, orang yang kecerdasan emosinya tinggi akan memikirkan pula akibat-akibat yang mungkin terjadi di masa yang akan datang bagi kelangsungan hidupnya.  Sebagaimana dalam penelitian  Tjahjaningrum dan Djalali (2013) yang dilakukan pada Siswa Bintara Kowal Dikmabawan TNI AL XXXI TA 2012 diperoleh hasil bahwa hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan siswa Bintara Kowal dalam menjalani pendidikan dasar militer mempunyai hubungan yang negatif.  Disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki oleh siswa bintara Kowal didalam menjalani pendidikan dasar militer maka akan semakin rendah tingkat kecemasan yang ditunjukkan oleh siswa bintara Kowal didalam menjalani pendidikan dasar militer, begitupula sebaliknya.
Selain kecerdasan emosi (Emotional Quotient) dalam meminimalisasi kecemasan matematika menjelang Ujian Nasional adalah dengan kecerdasan mengatasi masalah atau kecerdasan mengatasi kesulitan hidup (Adversity quotient), yang merupakan petunjuk tentang seberapa kuat seseorang dalam menghadapi sebuah kesulitan dan bermanfaat untuk memperkirakan tentang seberapa besar kemampuan individu tersebut dalam mengadapi kesulitannya (Stoltz, 2000).
Menurut Stoltz (2000) adversity quotient berakar pada bagaimana seseorang merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan dalam hidup. Situasi sulit dan tantangan dalam hidup dapat diatasi dengan adversity quotient yang baik. Karena jika seseorang memiliki adversity quotient yang tinggi akan menjadikan seseorang memiliki kegigihan dalam hidup dan tidak mudah menyerah. Seseorang yang memiliki adversity quotient yang tinggi ia akan memiliki kekebalan atas ketidakmapuan dirinya menghadapai masalah dan tidak akan mudah terjebak dalam kondisi keputusasaan. Namun sebaliknya, jika seseorang memiliki adversity quotient yang rendah maka seseorang akan mudah rapuh dan menyerah pada keadaan.
Siswa yang memiliki tingkat adversity quotient tinggi diharapkan dapat menekan tingkat kecemasan matematika dalam mempersiapkan diri menjelang Ujian Nasional. Mereka akan mampu melewati seluruh permasalahan dalam hidup,  memiliki semangat yang tinggi dan tidak mudah menyerah. Ketika kecemasan matematika menjelang Ujian Nasional muncul, dengan berbekal tingkat adversity quotient yang tinggi maka siswa tersebut akan mampu menghilangkan rasa cemas dan kekawatirannya. Dengan adversity quotient yang tinggi diharapkan akan dapat menurunkan kecemasan matematika karena siswa memiliki semangat yang tinggi, ketekunan dalam belajar, serta memiliki kegigihan dan keberanian, sehingga dengan begitu akan menurunkan derajat tingkat kecemasan matematika menjelang Ujian Nasional.
Hasil penelitian Puspitasari (2013), pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang sedang menempuh skripsi menunjukan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara adversity quotient dengan kecemasan mengerjakan skripsi pada mahasiswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi memiliki tingkat kecemasan mengerjakan skripsi yang rendah, sedangkan mahasiswa yang memiliki adversity quotient yang rendah memiliki tingkat kecemasan mengerjakan skripsi yang tinggi. Sumbangan efektif dari adversity quotient terhadap kecemasan mengerjakan skripsi pada mahasiswa sebesar 36,6%, sedangkan sumbangan sebesar 63,4% diperoleh dari faktor lain. Tingkat adversity quotient tinggi yang dimiliki oleh mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi akan menyebabkan mahasiswa mampu bertahan mengatasi kecemasan dalam mengerjakan skripsi sehingga mereka yang memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi akan lebih terdorong untuk dapat mengerjakan skripsi dengan baik. Mahasiswa yang mempunyai adversity quotient yang tinggi, ia akan cenderung mempunyai sikap optimisme, motivasi yang tinggi, ulet, tekun. Sehingga dengan begitu ia akan mampu menyelesaikan suatu kesulitan dengan baik atau mampu keluar dari hambatan tersebut. Beberapa aspek inilah yang mampu untuk meminimalisir kecemasan mahasiswa dalam mengerjakan skripsi.
Keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh siswa menjelang Ujian Nasional. Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini mempersiapkan diri menghadapi ujian matematika, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (self efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997). Keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan individu. Keyakinan yang didasari oleh batas-batas kemampuan yang dirasakan akan menuntut siswa berperilaku secara mantap dan efektif.
Self efficacy menurut Bandura (Feist & Feist, 2008) merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mengontrol fungsi diri dan lingkungannya serta menemukan jalan keluar terhadap permasalahannya. Self efficacy merupakan faktor dari perubahan kognitif yang seseorang untuk menampilkan tindakan-tindakan dari level yang ditunjukkan. Self efficacy menentukan bagaimana orang-orang merasakan, berpikir, memotivasi dirinya dan berperilaku. Seorang siswa dalam memecahkan masalah dalam mengahapi matematika menjelang ujian nasional memerlukan suatu keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri karena hal tersebut akan menentukan tindakan yang dilakukan dan hasil yang ditunjukkan. Siswa yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki ketika belajar matematika yang dianaggap sulit akan menganggap hal tersebut sebagai tantangan yang harus dikuasai, mempertahankan komitmen diri dalam mencapai tujuan, memperoleh kembali upaya-upaya ketika menghadapi kegagalan, ketika menghadapi situasi yang mengancam mampu mengontrol dirinya, sehingga dapat menghasilkan pencapaian diri serta dapat mengurangi stress dan tidak mudah depresi.
Penelitian Nursilawati (2010), pada siswa SMPN 4 Tangerang Selatan dengan populasi sebanyak 680 untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self efficacy matematika dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika menghasilkan nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel yaitu -0,602 > 0,256, (arah hubungan bersifat negatif). Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara self efficacy matematika dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika. Arah hubungan yang didapat bersifat negatif yang bermakna bahwa semakin tinggi self efficacy seseorang terhadap matematika, maka kecemasan yang dialami seseorang akan menurun dan sebaliknya, semakin rendah self efficacy seseorang terhadap matematika, maka kecemasan yang dialami akan semakin meningkat (tinggi).
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa, kecemasan matematika yang dialami siswa menjelang Ujian Nasional dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh beban yang dirasa bisa mengancam, tetapi juga dikarenakan bagaimana persepsi siswa terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas atau soal matematika yang juga dapat diminimalisir dengan  Emotional Quotient dan Adversity Quotient sehinga peneliti merasa tertarik untuk melihat lebih mendalam apakah ada hubungan antara Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient), Kecerdasan mengatasi masalah atau kecerdasan mengatasi kesulitan hidup  (Adversity Quotient) dan keyakinan terhadap diri (Self Efficacy) dengan kecemasan matematika (Mathematics Anxiety) menjelang Ujian Nasional.

Tidak ada komentar: