Ujian Nasional (UN) sejak lama menjadi momok yang menakutkan bagi
siswa. Tes yang diadakan di akhir masa studi ini seolah menjadi penentu
keberhasilan siswa selama menempuh pendidikan. Pro kontra keberadaan ujian nasional pun meluas, namun menurut
Muhammad Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono), apabila Ujian Nasional tidak
dilaksanakan, maka pemerintah melanggar peraturan yang telah ditetapkan dalam
PP Nomor 19 Tahun 2005, untuk itu Ujian Nasional tetap perlu dilanjutkan guna
mengukur tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar di setiap daerah. Hasil
UN digunakan sebagai evaluasi dan pemetaan perkembangan kualitas pendidikan
nasional. Selain itu, UN juga diperlukan untuk menjadi tolok ukur pemerintah
dalam mengontrol perbaikan mutu pendidikan secara nasional (Kemdikbud, 2013).
Tingkat ketidaklulusan Ujian Nasional dari tahun ke tahun relatif
masih cukup tinggi. Ujian Nasional pada tahun pelajaran
2011/2012
tingkat SMP dan sederajat yang tidak lulus mencapai 15.945 siswa atau 0,43% dari
3.697.865 peserta UN SMP/MTs seluruh Indonesia, yang terbanyak
gagal dalam mata pelajaran Matematika, kemudian diikuti Bahasa Inggris, IPA,
dan Bahasa Indonesia. Dari 15.945 siswa yang tidak lulus tersebut, siswa yang
tidak lulus mata pelajaran matematika adalah 1.330 siswa atau 8,34%, Bahasa
Inggris 840 siswa atau 5,70%, IPA 666 siswa atau 4,18, dan Bahasa Indonesia 343
siswa atau 2,15% (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2012).
Ujian Nasional tahun pelajaran 2012/2013 siswa yang tidak lulus Ujian
Nasional mengalami kenaikan
sebesar 0,02% dari 3.667.241 peserta UN tingkat SMP/MTs seluruh
Indonesia, sebanyak 16.616 atau 0,45% siswa tidak lulus (Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Untuk
distribusi ketidaklulusannya, sebanyak 16.593 peserta ujian yang tidak lulus
dikarenakan rata-rata nilai akhir kurang dari 5,5. Jika hanya menggunakan UN
murni sebagai penentu kelulusan, hanya 44,45% siswa peserta UN SMP/MTs yang
bisa lulus. Adapun distribusi ketidaklulusan
yang disebabkan rerata nilai akhirnya di bawah 5,5 sebanyak 1.406.207 atau
38,35% (Ihsan,
2013).
Jumlah
siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional tingkat SMP/MTs dan sederajat Tahun
Pelajaran 2013/2014 sebanyak 2.335 orang. Jumlah itu 0,06 persen dari total
peserta ujian nasional yakni 3.773.372 orang dan jumlah siswa yang dinyatakan
lulus mencapai 3.771.037 atau sebesar 99,94%. (Suara Pembaruan, 2014).
Berbagai penolakan terhadap UN membuat pemerintah mengkaji ulang. Rencana pelaksanaan
UN Tahun Pelajaran 2014/2015, menurut
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan, tengah dikaji keberlanjutan dan reposisi Ujian Nasional tersebut. Menurut Anies,
kajian tersebut dilakukan untuk mencari titik temu antara dua sisi pelaksanaan ujian nasional (UN), yaitu satu sisi
ingin memastikan bahwa anak-anak memiliki standar yang baik dan memadai dan
disisi lain, membuat proses ujian atau tes bukan sesutau yang membenani,
mengerikan, bahkan mengubah orientasi belajar. Sejalan dengan hal tersebut Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku penyelenggara UN sedang mempersiapkan
perubahan pelaksanaan Ujian Nasional
2015 menjadi evaluasi nasional yang salah satu kajiannya adalah ingin
mengembalikan ujian tahunan itu kembali
ke fungsi evaluasi (ENAS) dan mungkin penentuan kelulusan ujian 2015
nanti dikembalikan ke sekolah (Mulyana,
2014), menurut Mendikbud, Pemerintah tidak akan menghapus Ujian Nasional. Namun, hasil Ujian
Nasional tidak jadi tolok ukur kelulusan. Ujian Nasional 2015 hanya dijadikan
pemetaan pemerataan kualitas pendidikan nasional (Hariawan, 2014).
Niat baik Pemerintah untuk mengkaji
ulang pelaksanaan Ujian Nasional memang perlu disambut baik dan positif bagi
penyelenggara pendidikan di lapangan. Namun walaupun Pemerintah sudah ada
sinyal baik seperti itu, di tataran penyelenggara pendidikan masih banyak
terlihat aktivitas persiapan ujian yang tidak beda dari tahun ke tahun.
Berbagai kegiatan sekitar persiapan UN mulai dilakukan, seperti menghabiskan
materi pelajaran satu tahun di semester ganjil agar nanti di semester genap
tinggal membahas soal-soal yang berhubungan dengan Ujian Nasional. Melaksanakan
try out UN, melakukan belajar
tambahan (les) mapel UN yang telah dilakukan di semester ganjil bahkan di hari
liburan semester ganjil, orang tua memasukkan anaknya di lembaga bimbingan
belajar atau les privat di rumah.
Persiapan-persiapan yang tidak ada
bedanya dari tahun-tahun lalu saat menjelang Ujian Nasional ini tanpa disadari
oleh para pendidik dan orang tua telah membawa anak pada sebuah momen sulit
yang dirasakan pada mental dan psikologisnya. Perasaan cemas, takut dan gelisah
akan menghinggapinya sebagai bentuk beban yang timbul pada mental dan
psikologis anak dalam menghadapi Ujian Nasional, sehingga tetap saja
setiap menjelang pelaksanaan Ujian Nasional akan menciptakan berbagai
bentuk tekanan yang menyebabkan siswa menjadi stres.
setiap menjelang pelaksanaan Ujian Nasional akan menciptakan berbagai
bentuk tekanan yang menyebabkan siswa menjadi stres.
Ari (2012) pada liputan khusus Harian Jogja, menyimpulkan beberapa
hal yang menjadi faktor penyebab siswa menjadi stres ketika menghadapi stres
Ujian Nasional adalah bukan hanya berasal dari dalam diri siswa atau lingkungan
keluarga saja, tetapi perbedaan sistem belajar yang diterapkan setiap sekolah
menyebabkan anak menjadi tertekan
sebelum Ujian Nasional diadakan. Setiap sekolah menerapkan pola pembelajaran melalui ujian try-out, pemantapan sekolah, maupun ujian-ujian dalam bentuk lainnya bertujuan untuk memotivasi siswa agar mencapai standar kelulusan yang diharapkan oleh Departemen Pendidikan. Keadaan yang membuat siswa terus digenjot dengan pemberian ujian-ujian try-out rutin dan materi pelajaran berdampak pada jadwal siswa yang semakin padat di sekolah terlebih lagi jika terdapat
orang tua siswa yang memasukan anaknya untuk mengikuti kegiatan bimbingan belajar di luar sekolah, tidak menutup kemungkinan timbulnya kelemahan-kelemahan yang berpengaruh negatif pada diri siswa.
sebelum Ujian Nasional diadakan. Setiap sekolah menerapkan pola pembelajaran melalui ujian try-out, pemantapan sekolah, maupun ujian-ujian dalam bentuk lainnya bertujuan untuk memotivasi siswa agar mencapai standar kelulusan yang diharapkan oleh Departemen Pendidikan. Keadaan yang membuat siswa terus digenjot dengan pemberian ujian-ujian try-out rutin dan materi pelajaran berdampak pada jadwal siswa yang semakin padat di sekolah terlebih lagi jika terdapat
orang tua siswa yang memasukan anaknya untuk mengikuti kegiatan bimbingan belajar di luar sekolah, tidak menutup kemungkinan timbulnya kelemahan-kelemahan yang berpengaruh negatif pada diri siswa.
Seperti
yang terjadi pada siswa MTsNegeri Bener yang sudah mulai terlihat merasa
tertekan dan cemas dengan padatnya jadwal penambahan belajar (les) dan rencana
pelaksanaan Tes Uji Coba (TUC) Ujian Nasional yang jadwalnya sudah terpasang di setiap kelas yaitu, TUC
pertama pada tanggal 26 sampai dengan 29 Januari 2015, TUC kedua tanggal 25
sampai dengan 28 Februari 2015, TUC ketiga tanggal 6 sampai dengan 9 April 2015
dan TUC keempat tingkat KKM (Kelompok Kerja Madrasah) Kabupaten Purworejo yang
jadwalnya tanggal 22 sampai dengan 25 April 2015..
Hasil TUC pertama dari 269 peserta memperlihatkan
hasil yang masih sangat rendah dengan rata-rata masing-masing mata pelajaran
untuk Bahasa Indonesia 7.28, Matematika
3.65, Bahasa Inggris 4.45, dan IPA 4.59, sedangkan rata-rata keseluruhan adalah
4,99. Dari hasil TUC pertama itu terlihat pelajaran matematika menduduki
peringkat yang paling rendah yaitu 3.65, sehingga matematika menjadi mata pelajaran yang paling ditakuti siswa saat Ujian Nasional.
Mata pelajaran matematika dianggap sebagian siswa sebagai mata
pelajaran yang sukar dan biasanya belajar matematika memerlukan konsentrasi tinggi.
Mereka menganggap matematika suatu pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan
menjadi beban bagi siswa karena bersifat abstrak, penuh dengan angka dan rumus.
Pikiran buruk siswa mengenai matematika atau kurang siapnya siswa pada ujian
matematika tersebut dapat menjadi pemicu timbulnya kecemasan Matematika.
Kecemasan matematika (Mathematics Anxiety) menurut Ashcraft
dan Faust (Susanti, 2011) memberikan pengertian bahwa kecemasan matematika
adalah perasaan tertekan, kegelisahan bahkan ketakutan yang tercampur dengan
kesalahan yang luar biasa pada angka dan memecahkan soal matematika. Sedangkan
kecemasan matematika menurut Dreger & Aiken (Kusumawati, 2005), yaitu
gejala atau reaksi emosional terhadap aritmatika dan matematika. Siswa yang
mengalami kecemasan matematika menunjukkan sikap tidak mau belajar, merasa
rendah diri, merasa tidak ada artinya belajar matematika, kebingungngan, gugup,
gelisah, khawatir, serta mengalami gangguan fisiologis. Kecemasan matematika ini
muncul dari rasa takut siswa terhadap tugas-tugas yang berkaitan dengan rumus
matematika, ujian atau pada saat pelajaran matematika karena akan merasa gagal,
tidak mampu mengikuti pelajaran matematika, dan ketakutan akan mendapat nilai
yang jelek (Yoenanto, 2001). Kecemasan Matematika pada siswa bisa berdampak
terhadap suasana tidak nyaman selama proses pembelajaran berlangsung. Akibatnya,
Matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit, karena karakteristik Matematika
yang bersifat abstrak, logis, sistematis, serta penuh dengan lambang dan rumus
itu yang membingungkan para siswa (Budiman, 2014).
Wawancara awal dengan beberapa siswa kelas sembilan MTs Negeri
Bener Kabupaten Purworejo yang merupakan peserta didik dari peneliti sendiri ditemukan
masalah bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap paling berat dalam
Ujian Nasional. Matematika sangat berbeda dengan mata pelajaran lain yang
diujikan. Mereka mengalami kesulitan seperti kesulitan menghafal rumus,
menerapkan rumus dalam pemecahan masalah, soal-soalnya sulit dipahami,
ketakutan menghadapi guru matematikanya, jenuh, pengalaman kakak kelas yang
banyak tidak mampu mengerjakan soal matematika dan lain sebagainya. Dalam
situasi yang demikian, mereka dapat dikatakan mengalami kecemasan.
Sebagian guru MTs Negeri Bener juga menyatakan kekhawatiran mereka
mengenai kesiapan anak didik dalam menghadapi UN yang akan dilangsungkan.
Kecemasan itu disebabkan dari ketidakpercayaan diri siswa dalam menghadapi
ujian yang kemudian meluas menjadi rasa takut, cemas dan malu. Siswa takut dan
cemas dalam menghadapi ujian, mereka takut jika hasil yang diperoleh tidak
dapat memenuhi standar yang telah ditentukan. Mereka akan malu kepada orang
tua, guru dan teman bila tidak lulus. Bayangan pemikiran seperti inilah yang
akan menimbulkan kecemasan pada siswa, keadaan seperti ini yang membuat
konsentrasi siswa terpecah dan justru akan mengganggu juga merugikan mereka
sendiri.
Sebenarnya kecemasan adalah gejala yang umum dan normal pada
setiap individu. Hal yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana tingkat
kecemasan menghambat aktivitas individu di segala aspek. Menurut Back (Hurlock, 2006) seseorang yang
memiliki kecerdasan emosi (Emotional Quotient) yang baik, akan lebih mampu mengatur emosinya sehingga
dapat meminimalisasi atau bahkan menghindari perasaan cemas dalam menghadapi Ujian
Nasional. Goleman (2007) menyatakan bahwa individu yang mempunyai kecerdasan
emosi yang tinggi akan lebih luas pengalaman dan pengetahuannya daripada
individu yang lebih rendah kecerdasan emosinya. Individu yang kecerdasan
emosinya tinggi akan lebih kritis dan rasional dalam menghadapi berbagai macam
masalah. Dengan demikian, orang yang kecerdasan emosinya tinggi akan memikirkan
pula akibat-akibat yang mungkin terjadi di masa yang akan datang bagi
kelangsungan hidupnya. Sebagaimana dalam
penelitian Tjahjaningrum dan Djalali (2013) yang dilakukan pada Siswa Bintara
Kowal Dikmabawan TNI AL XXXI TA 2012 diperoleh hasil bahwa hubungan antara
kecerdasan emosi dengan kecemasan siswa Bintara Kowal dalam menjalani
pendidikan dasar militer mempunyai hubungan yang negatif. Disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat
kecerdasan emosi yang dimiliki oleh siswa bintara Kowal didalam menjalani
pendidikan dasar militer maka akan semakin rendah tingkat kecemasan yang
ditunjukkan oleh siswa bintara Kowal didalam menjalani pendidikan dasar
militer, begitupula sebaliknya.
Selain kecerdasan emosi (Emotional Quotient) dalam meminimalisasi kecemasan matematika
menjelang Ujian Nasional adalah dengan kecerdasan mengatasi masalah atau
kecerdasan mengatasi kesulitan hidup (Adversity quotient), yang
merupakan petunjuk tentang seberapa kuat seseorang dalam menghadapi sebuah
kesulitan dan bermanfaat untuk memperkirakan tentang seberapa besar kemampuan
individu tersebut dalam mengadapi kesulitannya (Stoltz, 2000).
Menurut Stoltz (2000) adversity quotient berakar pada
bagaimana seseorang merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan
dalam hidup. Situasi sulit dan tantangan dalam hidup dapat diatasi dengan adversity
quotient yang baik. Karena jika seseorang memiliki adversity quotient yang
tinggi akan menjadikan seseorang memiliki kegigihan dalam hidup dan tidak mudah
menyerah. Seseorang yang memiliki adversity quotient yang tinggi ia akan
memiliki kekebalan atas ketidakmapuan dirinya menghadapai masalah dan tidak
akan mudah terjebak dalam kondisi keputusasaan. Namun sebaliknya, jika
seseorang memiliki adversity quotient yang rendah maka seseorang akan
mudah rapuh dan menyerah pada keadaan.
Siswa yang memiliki tingkat adversity quotient tinggi
diharapkan dapat menekan tingkat kecemasan matematika dalam mempersiapkan diri
menjelang Ujian Nasional. Mereka akan mampu melewati seluruh permasalahan dalam
hidup, memiliki semangat yang tinggi dan
tidak mudah menyerah. Ketika kecemasan matematika menjelang Ujian Nasional muncul,
dengan berbekal tingkat adversity quotient yang tinggi maka siswa
tersebut akan mampu menghilangkan rasa cemas dan kekawatirannya. Dengan adversity
quotient yang tinggi diharapkan akan dapat menurunkan kecemasan matematika karena
siswa memiliki semangat yang tinggi, ketekunan dalam belajar, serta memiliki
kegigihan dan keberanian, sehingga dengan begitu akan menurunkan derajat
tingkat kecemasan matematika menjelang Ujian Nasional.
Hasil penelitian Puspitasari
(2013), pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang sedang
menempuh skripsi menunjukan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara adversity
quotient dengan kecemasan mengerjakan skripsi pada mahasiswa. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat adversity
quotient yang tinggi memiliki tingkat kecemasan mengerjakan skripsi yang
rendah, sedangkan mahasiswa yang memiliki adversity quotient yang rendah
memiliki tingkat kecemasan mengerjakan skripsi yang tinggi. Sumbangan efektif
dari adversity quotient terhadap kecemasan mengerjakan skripsi pada
mahasiswa sebesar 36,6%, sedangkan sumbangan sebesar 63,4% diperoleh dari
faktor lain. Tingkat adversity quotient tinggi yang dimiliki oleh
mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi akan menyebabkan mahasiswa mampu
bertahan mengatasi kecemasan dalam mengerjakan skripsi sehingga mereka yang
memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi akan lebih terdorong
untuk dapat mengerjakan skripsi dengan baik. Mahasiswa yang mempunyai adversity
quotient yang tinggi, ia akan cenderung mempunyai sikap optimisme, motivasi
yang tinggi, ulet, tekun. Sehingga dengan begitu ia akan mampu menyelesaikan
suatu kesulitan dengan baik atau mampu keluar dari hambatan tersebut. Beberapa
aspek inilah yang mampu untuk meminimalisir kecemasan mahasiswa dalam
mengerjakan skripsi.
Keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh siswa
menjelang Ujian Nasional. Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini
mempersiapkan diri menghadapi ujian matematika, keyakinan individu terhadap
kemampuan mereka (self efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam
bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997). Keyakinan ini akan
mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan
individu. Keyakinan yang didasari oleh batas-batas kemampuan yang dirasakan
akan menuntut siswa berperilaku secara mantap dan efektif.
Self efficacy menurut Bandura (Feist
& Feist, 2008) merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang
dimiliki untuk mengontrol fungsi diri dan lingkungannya serta menemukan jalan
keluar terhadap permasalahannya. Self efficacy merupakan faktor dari
perubahan kognitif yang seseorang untuk menampilkan tindakan-tindakan dari
level yang ditunjukkan. Self efficacy menentukan bagaimana orang-orang
merasakan, berpikir, memotivasi dirinya dan berperilaku. Seorang siswa dalam
memecahkan masalah dalam mengahapi matematika menjelang ujian nasional
memerlukan suatu keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri karena hal tersebut
akan menentukan tindakan yang dilakukan dan hasil yang ditunjukkan. Siswa yang
memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki ketika belajar
matematika yang dianaggap sulit akan menganggap hal tersebut sebagai tantangan
yang harus dikuasai, mempertahankan komitmen diri dalam mencapai tujuan,
memperoleh kembali upaya-upaya ketika menghadapi kegagalan, ketika menghadapi
situasi yang mengancam mampu mengontrol dirinya, sehingga dapat menghasilkan
pencapaian diri serta dapat mengurangi stress dan tidak mudah depresi.
Penelitian
Nursilawati (2010), pada siswa SMPN 4 Tangerang Selatan dengan populasi
sebanyak 680 untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self efficacy
matematika dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika menghasilkan nilai
r hitung lebih besar dari nilai r tabel yaitu -0,602 > 0,256, (arah hubungan bersifat negatif). Hal ini
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara self efficacy matematika
dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika. Arah hubungan yang didapat
bersifat negatif yang bermakna bahwa semakin tinggi self efficacy
seseorang terhadap matematika, maka kecemasan yang dialami seseorang akan
menurun dan sebaliknya, semakin rendah self efficacy seseorang terhadap
matematika, maka kecemasan yang dialami akan semakin meningkat (tinggi).
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa, kecemasan matematika
yang dialami siswa menjelang Ujian Nasional dapat timbul bukan hanya disebabkan
oleh beban yang dirasa bisa mengancam, tetapi juga dikarenakan bagaimana
persepsi siswa terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas atau soal
matematika yang juga dapat diminimalisir dengan
Emotional Quotient dan Adversity Quotient sehinga peneliti
merasa tertarik untuk melihat lebih mendalam apakah ada hubungan antara Kecerdasan
Emosi (Emotional Quotient), Kecerdasan mengatasi masalah atau
kecerdasan mengatasi kesulitan hidup (Adversity
Quotient) dan keyakinan terhadap diri (Self Efficacy) dengan
kecemasan matematika (Mathematics
Anxiety) menjelang Ujian Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar