Kamis, 26 Februari 2015

KECERDASAN EMOSI, AQ, DAN SELF EFFICACY TERHADAP KECEMASAN UJIAN NASIONAL



Ujian Nasional (UN) sejak lama menjadi momok yang menakutkan bagi siswa. Tes yang diadakan di akhir masa studi ini seolah menjadi penentu keberhasilan siswa selama menempuh pendidikan. Pro kontra keberadaan ujian nasional   pun meluas, namun menurut Muhammad Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), apabila Ujian Nasional tidak dilaksanakan, maka pemerintah melanggar peraturan yang telah ditetapkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005, untuk itu Ujian Nasional tetap perlu dilanjutkan guna mengukur tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar di setiap daerah. Hasil UN digunakan sebagai evaluasi dan pemetaan perkembangan kualitas pendidikan nasional. Selain itu, UN juga diperlukan untuk menjadi tolok ukur pemerintah dalam mengontrol perbaikan mutu pendidikan secara nasional (Kemdikbud, 2013).
Standar  nilai kelulusan Ujian Nasional sejak diundangkan tahun 2003 selalu mengalami peningkatan. Mulai tahun 2003 dan 2004 yang masih menggunakan nama Ujian Akhir Nasional (UAN) nilai kelulusan ditetapkan  3,01 dan  4,01. Tahun  2005 hingga sekarang dirubah namanya menjadi Ujian Nasional (UN) yang standar kelulusannya selalu merangkak naik. Pada tahun 2005 dan 2006 ditetapkan nilai minimal tiap mata pelajaran adalah 4,25 sedangkan nilai minimal rata-rata kelulusan 4,25 dan 4,50. Pada tahun 2007 nilai minimal tiap mata pelajaran dan nilai minimal rata-rata sama yaitu 5,00. Tahun 2008 sampai dengan 2010 nilai minimal setiap mapel ditetapkan 4,25 sementara nilai rata-rata kelulusan 5,25 untuk tahun 2008 dan 5,50 untuk tahun mulai 2009 sampai dengan sekarang. Mulai tahun 2011 sampai dengan sekarang nilai rata-rata kelulusan tetap 5,50 namun untuk nilai lulus tiap mapel diturunkan menjadi 4,00 (http://id.wikipedia.org, 2014).
Tingkat ketidaklulusan Ujian Nasional dari tahun ke tahun relatif masih cukup tinggi. Ujian Nasional pada tahun pelajaran 2011/2012 tingkat SMP dan sederajat yang tidak lulus mencapai 15.945 siswa atau 0,43% dari 3.697.865 peserta UN SMP/MTs seluruh Indonesia, yang terbanyak gagal dalam mata pelajaran Matematika, kemudian diikuti Bahasa Inggris, IPA, dan Bahasa Indonesia.  Dari 15.945 siswa yang tidak lulus tersebut, siswa yang tidak lulus mata pelajaran matematika adalah 1.330 siswa atau 8,34%, Bahasa Inggris 840 siswa atau 5,70%, IPA 666 siswa atau 4,18, dan Bahasa Indonesia 343 siswa atau 2,15% (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012).
Ujian Nasional tahun pelajaran 2012/2013 siswa yang tidak lulus Ujian Nasional mengalami kenaikan sebesar 0,02% dari 3.667.241 peserta UN tingkat SMP/MTs seluruh Indonesia, sebanyak 16.616 atau 0,45% siswa tidak lulus (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013). Untuk distribusi ketidaklulusannya, sebanyak 16.593 peserta ujian yang tidak lulus dikarenakan rata-rata nilai akhir kurang dari 5,5. Jika hanya menggunakan UN murni sebagai penentu kelulusan, hanya 44,45% siswa peserta UN SMP/MTs yang bisa lulus. Adapun distribusi ketidaklulusan yang disebabkan rerata nilai akhirnya di bawah 5,5 sebanyak 1.406.207 atau 38,35% (Ihsan, 2013).
Jumlah siswa yang tidak lulus dalam Ujian Nasional tingkat SMP/MTs dan sederajat Tahun Pelajaran 2013/2014 sebanyak 2.335 orang. Jumlah itu 0,06 persen dari total peserta ujian nasional yakni 3.773.372 orang dan jumlah siswa yang dinyatakan lulus mencapai 3.771.037 atau sebesar 99,94%. (Suara Pembaruan, 2014).
Berbagai penolakan terhadap UN membuat pemerintah mengkaji ulang. Rencana pelaksanaan UN Tahun Pelajaran 2014/2015, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan,  tengah dikaji keberlanjutan dan reposisi Ujian Nasional tersebut. Menurut Anies, kajian tersebut dilakukan untuk mencari titik temu antara dua sisi pelaksanaan ujian nasional (UN), yaitu satu sisi ingin memastikan bahwa anak-anak memiliki standar yang baik dan memadai dan disisi lain, membuat proses ujian atau tes bukan sesutau yang membenani, mengerikan, bahkan mengubah orientasi belajar. Sejalan dengan hal tersebut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) selaku penyelenggara UN sedang mempersiapkan perubahan pelaksanaan Ujian Nasional 2015 menjadi evaluasi nasional yang salah satu kajiannya adalah ingin mengembalikan ujian tahunan itu  kembali ke fungsi evaluasi  (ENAS)  dan mungkin penentuan kelulusan ujian 2015 nanti dikembalikan ke sekolah (Mulyana,  2014), menurut Mendikbud, Pemerintah tidak akan menghapus Ujian Nasional. Namun, hasil Ujian Nasional tidak jadi tolok ukur kelulusan. Ujian Nasional 2015 hanya dijadikan pemetaan pemerataan kualitas pendidikan nasional (Hariawan, 2014).
Niat baik Pemerintah untuk mengkaji ulang pelaksanaan Ujian Nasional memang perlu disambut baik dan positif bagi penyelenggara pendidikan di lapangan. Namun walaupun Pemerintah sudah ada sinyal baik seperti itu, di tataran penyelenggara pendidikan masih banyak terlihat aktivitas persiapan ujian yang tidak beda dari tahun ke tahun. Berbagai kegiatan sekitar persiapan UN mulai dilakukan, seperti menghabiskan materi pelajaran satu tahun di semester ganjil agar nanti di semester genap tinggal membahas soal-soal yang berhubungan dengan Ujian Nasional. Melaksanakan try out UN, melakukan belajar tambahan (les) mapel UN yang telah dilakukan di semester ganjil bahkan di hari liburan semester ganjil, orang tua memasukkan anaknya di lembaga bimbingan belajar atau les privat di rumah.
Persiapan-persiapan yang tidak ada bedanya dari tahun-tahun lalu saat menjelang Ujian Nasional ini tanpa disadari oleh para pendidik dan orang tua telah membawa anak pada sebuah momen sulit yang dirasakan pada mental dan psikologisnya. Perasaan cemas, takut dan gelisah akan menghinggapinya sebagai bentuk beban yang timbul pada mental dan psikologis anak dalam menghadapi Ujian Nasional, sehingga tetap saja
setiap menjelang pelaksanaan Ujian Nasional akan menciptakan berbagai
bentuk tekanan yang menyebabkan siswa menjadi stres.
Ari (2012) pada liputan khusus Harian Jogja, menyimpulkan beberapa hal yang menjadi faktor penyebab siswa menjadi stres ketika menghadapi stres Ujian Nasional adalah bukan hanya berasal dari dalam diri siswa atau lingkungan keluarga saja, tetapi perbedaan sistem belajar yang diterapkan setiap sekolah menyebabkan anak menjadi tertekan
sebelum Ujian Nasional diadakan. Setiap sekolah menerapkan pola pembelajaran melalui ujian try-out, pemantapan sekolah, maupun ujian-ujian dalam bentuk lainnya bertujuan untuk memotivasi siswa agar mencapai standar kelulusan yang diharapkan oleh Departemen Pendidikan. Keadaan yang membuat siswa terus digenjot dengan pemberian ujian-ujian try-out rutin dan materi pelajaran berdampak pada jadwal siswa yang semakin padat di sekolah terlebih lagi jika terdapat
orang tua siswa yang memasukan anaknya untuk mengikuti kegiatan bimbingan belajar di luar sekolah, tidak menutup kemungkinan timbulnya
kelemahan-kelemahan yang berpengaruh negatif pada diri siswa.
Seperti yang terjadi pada siswa MTsNegeri Bener yang sudah mulai terlihat merasa tertekan dan cemas dengan padatnya jadwal penambahan belajar (les) dan rencana pelaksanaan Tes Uji Coba (TUC) Ujian Nasional yang jadwalnya sudah terpasang di setiap kelas yaitu, TUC pertama pada tanggal 26 sampai dengan 29 Januari 2015, TUC kedua tanggal 25 sampai dengan 28 Februari 2015, TUC ketiga tanggal 6 sampai dengan 9 April 2015 dan TUC keempat tingkat KKM (Kelompok Kerja Madrasah) Kabupaten Purworejo yang jadwalnya tanggal 22 sampai dengan 25 April 2015..
Hasil TUC pertama dari 269 peserta memperlihatkan hasil yang masih sangat rendah dengan rata-rata masing-masing mata pelajaran untuk  Bahasa Indonesia 7.28, Matematika 3.65, Bahasa Inggris 4.45, dan IPA 4.59, sedangkan rata-rata keseluruhan adalah 4,99. Dari hasil TUC pertama itu terlihat pelajaran matematika menduduki peringkat yang paling rendah yaitu 3.65, sehingga matematika menjadi mata pelajaran yang paling ditakuti siswa saat Ujian Nasional.
Mata pelajaran matematika dianggap sebagian siswa sebagai mata pelajaran yang sukar dan biasanya belajar matematika memerlukan konsentrasi tinggi. Mereka menganggap matematika suatu pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan menjadi beban bagi siswa karena bersifat abstrak, penuh dengan angka dan rumus. Pikiran buruk siswa mengenai matematika atau kurang siapnya siswa pada ujian matematika tersebut dapat menjadi pemicu timbulnya kecemasan Matematika.
Kecemasan matematika (Mathematics Anxiety) menurut Ashcraft dan Faust (Susanti, 2011) memberikan pengertian bahwa kecemasan matematika adalah perasaan tertekan, kegelisahan bahkan ketakutan yang tercampur dengan kesalahan yang luar biasa pada angka dan memecahkan soal matematika. Sedangkan kecemasan matematika menurut Dreger & Aiken (Kusumawati, 2005), yaitu gejala atau reaksi emosional terhadap aritmatika dan matematika. Siswa yang mengalami kecemasan matematika menunjukkan sikap tidak mau belajar, merasa rendah diri, merasa tidak ada artinya belajar matematika, kebingungngan, gugup, gelisah, khawatir, serta mengalami gangguan fisiologis. Kecemasan matematika ini muncul dari rasa takut siswa terhadap tugas-tugas yang berkaitan dengan rumus matematika, ujian atau pada saat pelajaran matematika karena akan merasa gagal, tidak mampu mengikuti pelajaran matematika, dan ketakutan akan mendapat nilai yang jelek (Yoenanto, 2001). Kecemasan Matematika pada siswa bisa berdampak terhadap suasana tidak nyaman selama proses pembelajaran berlangsung. Akibatnya, Matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit, karena karakteristik Matematika yang bersifat abstrak, logis, sistematis, serta penuh dengan lambang dan rumus itu yang membingungkan para siswa (Budiman, 2014).
Wawancara awal dengan beberapa siswa kelas sembilan MTs Negeri Bener Kabupaten Purworejo yang merupakan peserta didik dari peneliti sendiri ditemukan masalah bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang dianggap paling berat dalam Ujian Nasional. Matematika sangat berbeda dengan mata pelajaran lain yang diujikan. Mereka mengalami kesulitan seperti kesulitan menghafal rumus, menerapkan rumus dalam pemecahan masalah, soal-soalnya sulit dipahami, ketakutan menghadapi guru matematikanya, jenuh, pengalaman kakak kelas yang banyak tidak mampu mengerjakan soal matematika dan lain sebagainya. Dalam situasi yang demikian, mereka dapat dikatakan mengalami kecemasan.
Sebagian guru MTs Negeri Bener juga menyatakan kekhawatiran mereka mengenai kesiapan anak didik dalam menghadapi UN yang akan dilangsungkan. Kecemasan itu disebabkan dari ketidakpercayaan diri siswa dalam menghadapi ujian yang kemudian meluas menjadi rasa takut, cemas dan malu. Siswa takut dan cemas dalam menghadapi ujian, mereka takut jika hasil yang diperoleh tidak dapat memenuhi standar yang telah ditentukan. Mereka akan malu kepada orang tua, guru dan teman bila tidak lulus. Bayangan pemikiran seperti inilah yang akan menimbulkan kecemasan pada siswa, keadaan seperti ini yang membuat konsentrasi siswa terpecah dan justru akan mengganggu juga merugikan mereka sendiri.
Sebenarnya kecemasan adalah gejala yang umum dan normal pada setiap individu. Hal yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana tingkat kecemasan menghambat aktivitas individu di segala aspek.  Menurut Back (Hurlock, 2006) seseorang yang memiliki  kecerdasan emosi (Emotional Quotient) yang baik, akan lebih mampu mengatur emosinya sehingga dapat meminimalisasi atau bahkan menghindari perasaan cemas dalam menghadapi Ujian Nasional. Goleman (2007) menyatakan bahwa individu yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan lebih luas pengalaman dan pengetahuannya daripada individu yang lebih rendah kecerdasan emosinya. Individu yang kecerdasan emosinya tinggi akan lebih kritis dan rasional dalam menghadapi berbagai macam masalah. Dengan demikian, orang yang kecerdasan emosinya tinggi akan memikirkan pula akibat-akibat yang mungkin terjadi di masa yang akan datang bagi kelangsungan hidupnya.  Sebagaimana dalam penelitian  Tjahjaningrum dan Djalali (2013) yang dilakukan pada Siswa Bintara Kowal Dikmabawan TNI AL XXXI TA 2012 diperoleh hasil bahwa hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan siswa Bintara Kowal dalam menjalani pendidikan dasar militer mempunyai hubungan yang negatif.  Disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi yang dimiliki oleh siswa bintara Kowal didalam menjalani pendidikan dasar militer maka akan semakin rendah tingkat kecemasan yang ditunjukkan oleh siswa bintara Kowal didalam menjalani pendidikan dasar militer, begitupula sebaliknya.
Selain kecerdasan emosi (Emotional Quotient) dalam meminimalisasi kecemasan matematika menjelang Ujian Nasional adalah dengan kecerdasan mengatasi masalah atau kecerdasan mengatasi kesulitan hidup (Adversity quotient), yang merupakan petunjuk tentang seberapa kuat seseorang dalam menghadapi sebuah kesulitan dan bermanfaat untuk memperkirakan tentang seberapa besar kemampuan individu tersebut dalam mengadapi kesulitannya (Stoltz, 2000).
Menurut Stoltz (2000) adversity quotient berakar pada bagaimana seseorang merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan dalam hidup. Situasi sulit dan tantangan dalam hidup dapat diatasi dengan adversity quotient yang baik. Karena jika seseorang memiliki adversity quotient yang tinggi akan menjadikan seseorang memiliki kegigihan dalam hidup dan tidak mudah menyerah. Seseorang yang memiliki adversity quotient yang tinggi ia akan memiliki kekebalan atas ketidakmapuan dirinya menghadapai masalah dan tidak akan mudah terjebak dalam kondisi keputusasaan. Namun sebaliknya, jika seseorang memiliki adversity quotient yang rendah maka seseorang akan mudah rapuh dan menyerah pada keadaan.
Siswa yang memiliki tingkat adversity quotient tinggi diharapkan dapat menekan tingkat kecemasan matematika dalam mempersiapkan diri menjelang Ujian Nasional. Mereka akan mampu melewati seluruh permasalahan dalam hidup,  memiliki semangat yang tinggi dan tidak mudah menyerah. Ketika kecemasan matematika menjelang Ujian Nasional muncul, dengan berbekal tingkat adversity quotient yang tinggi maka siswa tersebut akan mampu menghilangkan rasa cemas dan kekawatirannya. Dengan adversity quotient yang tinggi diharapkan akan dapat menurunkan kecemasan matematika karena siswa memiliki semangat yang tinggi, ketekunan dalam belajar, serta memiliki kegigihan dan keberanian, sehingga dengan begitu akan menurunkan derajat tingkat kecemasan matematika menjelang Ujian Nasional.
Hasil penelitian Puspitasari (2013), pada mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang sedang menempuh skripsi menunjukan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara adversity quotient dengan kecemasan mengerjakan skripsi pada mahasiswa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi memiliki tingkat kecemasan mengerjakan skripsi yang rendah, sedangkan mahasiswa yang memiliki adversity quotient yang rendah memiliki tingkat kecemasan mengerjakan skripsi yang tinggi. Sumbangan efektif dari adversity quotient terhadap kecemasan mengerjakan skripsi pada mahasiswa sebesar 36,6%, sedangkan sumbangan sebesar 63,4% diperoleh dari faktor lain. Tingkat adversity quotient tinggi yang dimiliki oleh mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi akan menyebabkan mahasiswa mampu bertahan mengatasi kecemasan dalam mengerjakan skripsi sehingga mereka yang memiliki tingkat adversity quotient yang tinggi akan lebih terdorong untuk dapat mengerjakan skripsi dengan baik. Mahasiswa yang mempunyai adversity quotient yang tinggi, ia akan cenderung mempunyai sikap optimisme, motivasi yang tinggi, ulet, tekun. Sehingga dengan begitu ia akan mampu menyelesaikan suatu kesulitan dengan baik atau mampu keluar dari hambatan tersebut. Beberapa aspek inilah yang mampu untuk meminimalisir kecemasan mahasiswa dalam mengerjakan skripsi.
Keyakinan terhadap diri sendiri sangat diperlukan oleh siswa menjelang Ujian Nasional. Ketika menghadapi tugas yang menekan, dalam hal ini mempersiapkan diri menghadapi ujian matematika, keyakinan individu terhadap kemampuan mereka (self efficacy) akan mempengaruhi cara individu dalam bereaksi terhadap situasi yang menekan (Bandura, 1997). Keyakinan ini akan mengarahkan kepada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta keuletan individu. Keyakinan yang didasari oleh batas-batas kemampuan yang dirasakan akan menuntut siswa berperilaku secara mantap dan efektif.
Self efficacy menurut Bandura (Feist & Feist, 2008) merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mengontrol fungsi diri dan lingkungannya serta menemukan jalan keluar terhadap permasalahannya. Self efficacy merupakan faktor dari perubahan kognitif yang seseorang untuk menampilkan tindakan-tindakan dari level yang ditunjukkan. Self efficacy menentukan bagaimana orang-orang merasakan, berpikir, memotivasi dirinya dan berperilaku. Seorang siswa dalam memecahkan masalah dalam mengahapi matematika menjelang ujian nasional memerlukan suatu keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri karena hal tersebut akan menentukan tindakan yang dilakukan dan hasil yang ditunjukkan. Siswa yang memiliki keyakinan tinggi terhadap kemampuan yang dimiliki ketika belajar matematika yang dianaggap sulit akan menganggap hal tersebut sebagai tantangan yang harus dikuasai, mempertahankan komitmen diri dalam mencapai tujuan, memperoleh kembali upaya-upaya ketika menghadapi kegagalan, ketika menghadapi situasi yang mengancam mampu mengontrol dirinya, sehingga dapat menghasilkan pencapaian diri serta dapat mengurangi stress dan tidak mudah depresi.
Penelitian Nursilawati (2010), pada siswa SMPN 4 Tangerang Selatan dengan populasi sebanyak 680 untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self efficacy matematika dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika menghasilkan nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel yaitu -0,602 > 0,256, (arah hubungan bersifat negatif). Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara self efficacy matematika dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika. Arah hubungan yang didapat bersifat negatif yang bermakna bahwa semakin tinggi self efficacy seseorang terhadap matematika, maka kecemasan yang dialami seseorang akan menurun dan sebaliknya, semakin rendah self efficacy seseorang terhadap matematika, maka kecemasan yang dialami akan semakin meningkat (tinggi).
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dilihat bahwa, kecemasan matematika yang dialami siswa menjelang Ujian Nasional dapat timbul bukan hanya disebabkan oleh beban yang dirasa bisa mengancam, tetapi juga dikarenakan bagaimana persepsi siswa terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas atau soal matematika yang juga dapat diminimalisir dengan  Emotional Quotient dan Adversity Quotient sehinga peneliti merasa tertarik untuk melihat lebih mendalam apakah ada hubungan antara Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient), Kecerdasan mengatasi masalah atau kecerdasan mengatasi kesulitan hidup  (Adversity Quotient) dan keyakinan terhadap diri (Self Efficacy) dengan kecemasan matematika (Mathematics Anxiety) menjelang Ujian Nasional.

Rabu, 14 Januari 2015

KECEMASAN MATEMATIKA



MODEL KONSELING COGNITIVE BEHAVIOR THERTAPY (CBT) DALAM MENURUNKAN TINGKAT KECEMASAN BELAJAR MATEMATIKA

 Oleh : Supriyo,S.Pd.I
(Guru Matematika MTs Negeri Bener Purworejo)

Mata pelajaran matematika dianggap sebagian siswa sebagai mata pelajaran yang sukar dan biasanya belajar matematika memerlukan konsentrasi tinggi. Saat ini, masih banyak siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika. Mereka menganggap matematika suatu pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan menjadi beban bagi siswa karena bersifat abstrak, penuh dengan angka dan rumus, sehingga menimbulkan kecemasan pada diri siswa ketika sedang melaksanakan pembelajaran matematika .
Menurut Hudoyo (dalam Nawangsari, 2001), kecemasan siswa dalam pelajaran matematika dipengaruhi oleh pengalaman belajar matematika yang diterima siswa di masa lampau. Namun berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Nawangsari (2001) terhadap siswa kelas 1 Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 19 Surabaya terlihat bahwa 81 % kecemasan siswa terhadap pelajaran matematika dipengaruhi oleh self-efficacy belief siswa atau keyakinan diri siswa dan expectancy value siswa atau harapan siswa terhadap suatu keberhasilan. Sedangkan menurut  oleh Suinn dan Edward (Susanti dan Rohmah,2011) kecemasan matematika (mathematics anxiety) didefinisikan sebagai perasaan tegang, kekhawatiran atau ketakutan yang mengganggu prestasi matematika seseorang. Selain itu, Ashcraft dan Faust (Susanti dan Rohmah, 2011) memberikan pengertian bahwa kecemasan matematika adalah perasaan tertekan, kegelisahan, bahkan ketakutan yang bercampur dengan kesalahan yang luar biasa pada angka dan memecahkan soal matematika. Sehingga saat siswa menghadapi pelajaran matematika, siswa akan mengalami kecemasan dan bila hal ini terjadi dalam satu kurun waktu maka akan mempengaruhi prestasi akademik matematika siswa tersebut.
Penelitian Anita (2014), menunjukkan adanya hubungan kecemasan matematika (mathematics anxiety) terhadap kemampuan
koneksi matematis siswa SMP. Penelitiannya menghasilkan bahwa terdapat hubungan antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,903 atau sangat signifikan. Pola hubungan tidak searah ditunjukkan oleh tanda negatif pada koefisien korelasi yang menunjukkan bahwa hubungan tidak searah antara kecemasan matematika dan kemampuan koneksi matematis.
Pengaruh terbesar dari tingkat kecemasan matematika ditunjukkan oleh kecemasan terhadap pembelajaran, yaitu kecemasan siswa yang timbul saat pembelajaran berlangsung. Hasil analisis menunjukkan hubungan negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis. Koefisien regresi menunjukkan pengaruh negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis siswa.
Seperti yang terjadi pada siswi kami bernama “X”, yang sekarang duduk di kelas 9, selalu nampak gelisah dan tidak tenang pada setiap pembelajaran matematika yang mengakibatkan nilai matematikanya selalu jelek, tidak mampu mendapat  nilai lebih dari 40.
X, merupakan anak tunggal dari  keluarga mampu yang kedua orang tuanya bekerja dan sering di manja oleh lingkungannya.  Sejak bayi hingga ia sekarang kelas 9, X diasuh oleh seorang pembantu dan jarang keluar rumah, semua kebutuhan dapat tercukupi dan bahkan terkesan berlebihan.
Sampai saat ini , X masih nampak manja, belum mandiri dan sangat membutuhkan dukungan dan bantuan dari orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Hal tersebut dipengaruhi pola asuh orang tua X dan pengasuhnya yang cenderung selalu membantu X dalam melakukan kegiatan sehari-hari, seperti mengambil sepatu, mengambil makan minum, mengupas kulit buah dan masih banyak kegiatan kecil-kecil yang tidak mau ia lakukan sendiri.
X juga sering tidak masuk sekolah jika saat itu akan ada ulangan atau tidak mengerjakan tugas rumah. Ia takut di marahi guru karena tidak membuat tugas rumah dan ia merasa cemas mendapatkan nilai rendah jika dipaksakan ikut ulangan. Tetapi ia menolak mengikuti les di luar sekolah jika tidak ditunggui oleh ibunya.
Pada saat pembelajaran matematika, dalam pengamatan penulis, ia selalu gelisah jika saat latihan soal di dekati gurunya. Ia juga pernah mengungkapkan perasaan pada temannya, bahwa detak jantungnya selalu berdebar keras jika sudah mendengar suara gurunya mendekat dan akan masuk kelas, sehingga saat mengikuti pelajaran ia sulit untuk berkonsentrasi.
Kecemasan matematika bisa muncul sedini mungkin seperti pada anak-anak kelas empat SD dan puncaknya berada di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas. Scarpello (2007) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kecemasan matematika, yaitu (a) Pengalaman masa lalu yang buruk; (b) Lingkungan kelas; (c) Pola Asuh Orangtua; dan (d) Kemampuan mengingat matematika yang buruk.
Menurut Trujillo & Hadfield (Peker, 2009) penyebab kecemasan matematika dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu:
a. Faktor kepribadian (psikologis atau emosional)
Misalnya perasaan takut siswa akan kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy belief), kepercayaan diri yang rendah yang menyebabkan rendahnya nilai harapan siswa (expectancy value), motivasi diri siswa yang rendah dan sejarah emosional seperti pengalaman tidak menyenangkan dimasa lalu yang berhubungan dengan matematika yang menimbulkan trauma.
Penelitian Nursilawati (2010), pada siswa SMPN 4 Tangerang Selatan dengan populasi sebanyak 680 untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self efficacy matematika dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika menghasilkan nilai r hitung lebih besar dari nilai r tabel yaitu -0,602 > 0,256, (arah hubungan bersifat negatif). Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara self efficacy matematika dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika. Arah hubungan yang didapat bersifat negatif yang bermakna bahwa semakin tinggi self efficacy seseorang terhadap matematika, maka kecemasan yang dialami seseorang akan menurun dan sebaliknya, semakin rendah self efficacy seseorang terhadap matematika, maka kecemasan yang dialami akan semakin meningkat (tinggi).
b. Faktor lingkungan atau sosial
Misalnya kondisi saat proses belajar mengajar matematika di kelas yang tegang diakibatkan oleh cara mengajar, model dan metode mengajar guru matematika. Rasa takut dan cemas terhadap matematika dan kurangnya pemahaman yang  dirasakan para guru matematika dapat terwariskan kepada para siswanya (Wahyudin, 2010). Faktor yang lain yaitu keluarga terutama orang tua siswa yang terkadang memaksakan anak-anaknya untuk pandai dalam matematika karena matematika dipandang sebagai sebuah ilmu yang memiliki nilai prestise.
c. Faktor intelektual
Faktor intelektual terdiri atas pengaruh yang bersifat kognitif, yaitu lebih mengarah pada bakat dan tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa.
Penyebab rasa cemas X adalah adanya distorsi kognitif pada dirinya, (Novitasari, 2013), yaitu pikiran bahwa ia tidak mampu menghadapi  situasi-situasi yang dipersepsikannya mengancam sehingga membutuhkan bantuan orang lain.   Oleh karena itu penting dilakukan penanganan kecemasan pada diri X agar tidak berkembang menjadi gangguan yang  lebih serius di kemudain hari.
Haugaard dalam Novitasari (2013), menyampaikan bahwa ada sejumlah intervensi untuk menangani gangguan kecemasan pada anak antara lain Systematic Desensitization, Medication, Family Intervention, dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT).   Pada intervensi Systematic Desensitization anak dihadapkan pada situasi yang membuatnya cemas secara bertahap. Intervensi ini menggunakan proses yang disebut reciprocal inhibition, yaitu memasangkan suatu respon yang menghambat kecemasan (umumnya berupa relaksasi) dengan sumber kecemasan. Setelah hal ini dilakukan cukup sering, maka kaitan antara sumber kecemasan dan perasaan cemas akan berkurang atau terputus. Systematic  desensitization ini hanya menekankan aspek perilaku dalam mengatasi kecemasan  anak. Intervensi lainnya adalah Medication yang umumnnya menggunakan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Tricyclic Antidepressant untuk mengatasi  kecemasan. Berdasarkan sejumlah penelitian, intervensi Medication kurang efektif menangani kecemasan pada anak dibandingkan pada orang dewasa. Selain itu, sejumlah anak yang mendapat intervensi Medication ini mengalami efek samping, antara lain mulut terasa kering, mual, lelah, pusing. Intervensi kecemasan berikutnya adalah Family Intervention yang berupa pelatihan terhadap orangtua agar dapat mengatasi kecemasannya sendiri dan memiliki keterampilan untuk membantu anak mereka mengatasi kecemasan, antara lain mengabaikan perilaku cemas anak dan memberikan reinforcement terhadap perilaku yang sesuai. Intervernsi sesuai jika orangtua juga mengalami masalah kecemasan.
Selain ketiga intervensi kecemasan di atas, ada intervensi yang telah di gunakan secara luas dan efektif untuk mengatasi gangguan kecemasan pada anak dan remaja, yaitu   Cognitive-Behavioral   Therapy. CBT bertujuan mengajarkan anak menyadari tanda-tanda adannya kecemasan yang tidak diinginkan dan menjadikan tanda-tanda tersebut sebagai informasi yang akan digunakan dalam strategi manajemen kecemasannya. CBT efektif dalam menurunkan gangguan kecemasan pada anak, baik diterapkan secara individual, melibatkan anak dan orangtua, maupun dalam format kelompok. Efek positif CBT ini dapat dipertahankan dalam periode waktu 5 sampai 7 tahun.
Kelebihan CBT dibandingkan sejumlah intervensi di atas adalah adalah CBT menggabungkan beberapa intervensi menjadi suatu strategi yang mempengaruhi berbagai isu yang berkaitan dengan kecemasan, misalnya menggunakan konsep classical conditioning yang secara bertahap menghadapkan anak pada situasi yang menimbulkan kecemasan(seperti dalam systematic desensitization), menggunakan operant conditioning untuk mengurangi reinforcement  dari perilaku menghindar dan meningkatkan reinforcement untuk perilaku mengatasi kecemasan secara efektif, dan menggunakan terapi kognitif untuk mengajarkan anak mengidentifikasi dan memodifikasi kognisi yang mendukung kecemasannya. Komponen kognitif penting dilibatkan dalam penanganan gangguan kecemasan karena sejumlah penelitian menunjukan distorsi kognitif dan pikiran negatif melatarbelakangii kecemasan pada anak. Adanya penambahan komponen kognitif melebihi strategi behavior karena dapat meningkatkan kemampuan anak menggeneralisasi keterampilannya dan mengurangi ketergantungan terhadap dorongan dari lingkungan. Dalam CBT,distorsi kognitif pada anak yang menghambat perilakunya dibahas secara langsung dengan analisa berdasarkan bukti.
Penelitian Suryaningrum (2013) yang meneliti seorang individu yang menunjukkan simptom-simptom Obsesive Compulsive Disorder (OCD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cognitive Behavior Therapy (CBT) dapat mengurangi simptom OCD, yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat kecemasan,pemikiran negatif dan perilaku kompulsif. Subyek merasakan perubahan yang besar setelah mengikuti terapi; tingkat kenyamanan terhadap dirinya sendiri juga lebih baik dibanding sebelumnya.

Penerapan CBT Dalam Menangani Kecemasan Matematika
CBT merupakan intervensi yang efektif dan telah digunakan secara luas untuk menangani masalah kecemasan pada anak dan remaja. CBT untuk mengatasi kecemasan pada anak mengintegrasikan pendekatan perilaku (behavior) yang sudah terbukti efisien dengan penekanan pada faktor pemrosesan informasi kognitif yang berkaitan dengan kecemasan pada anak tersebut. Tujuan intervensi ini adalah mengajarkan anak mengenali tanda-tanda adanya dorongan kecemasan,dan menggunakan tanda-tanda tersebut sebagai informasi dalam mengelola  kecemasannya (Kendall, 2011).
Penerapan pendekatan perilaku dalam CBT untuk menangani kecemasan anak ini berupa penggunaan konsep classical conditioning, yaitu secara bertahap menghadapkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya  dengan menempatkan seseorang dalam situasi yang mencemaskan secara bertahap dan aman (misalnya di ruang terapis) dapat melemahkan ikatan antara situasi yang mencemaskan dengan gejala kecemasan yang dimunculkannya. Selain ituadalah dengan konsep operant-conditioning yaitu dengan mengurangi reinforcement  yang diperoleh atas perilaku menghindar anak dari kecemasan, dan meningkatkan reinforcement  untuk mengatasi perilaku kecemasan secara efektif (Haugaard dalam Novitasari, 2013).
Konsep pendekatan ini, jika pikiran diubah, maka perilaku juga akan dapat dirubah. Oleh karena itu terapi untuk anak dengan masalah kecemasan yang fokus dengan pikiran yang menyebabkan kecemasan dapat menurunkan kecemasan anak tersebut.
Menurut Kendall (2011), terapi CBT dalam menangani kecemasan dapat menggunakan 4 prinsip yang dikenal dengan FEAR, yaitu :
1.    F atau Feeling frightened, yaitu mengajarkan anak mengenali gejala fisik saat cemas
2.      E atau Expecting bad things to happen, yaitu mengajarkan anak mengidentifikasi pikirannya saat cemas
3.    A atau Attitudes and actions that can help, yaitu mengajarkan anak mengembangkan strategi mengatasi kecemasan
4.    R atau Result and Rewards, yaitu mengajarkan anak mengevaluasi usahanya dalam mengatasi kecemasan dan menghargai diri mereka sendiri atas usahanya itu.


Pelaksanaan Program Intervensi CBT
Pelaksanaan program intervensi CBT ini dilakukan oleh seorang guru BK dan wali kelasnya yang menjadi teman kerja penulis di MTs Negeri Bener di bawah koordinasi penulis. Hal ini dilakukan karena dari hasil wawancara guru BK dengan X, bahwa X selalu merasa tidak nyaman jika berhadapan atau berdekatan dengan penulis sebagai guru matematikanya. Ia selalu cemas dan inginnya menghindar dari penulis. Sehingga  kami menyepakati bahwa intervensi ini dilaksanakan oleh guru BK dan wali kelasnya.
Intervensi ini baru dilaksanakan 5 kali, dari rencana minimal 10 kali yang dilakukan pada setiap hari Rabu dan Sabtu sepulang sekolah sekitar pukul 13.30 s.d 14.30 mulai tanggal 12 November s.d 13 Desember 2014, di ruang BK yang ditemani oleh ibunya. Hasil pelaksanaan intervensi CBT tersebut dari laporan tertulis guru BK dapat dilihat sebagai berikut :

Pelaksanaan 1
Hari                 : Rabu
Tanggal         : 12 November 2014
Waktu             : 13.35 s.d 14.25 (50 menit)
Materi             : pengenalan program dan mengenali perasaan dan pikiran yang dialami seseorang dalam situasi tertentu
Deskripsi Kegiatan :
Pelaksana Intervensi (PI) yang dalam hal ini adalah guru BK dan wali kelas menjelaskan program yang akan diikuti oleh X beserta alasan mengapa X harus menjalani program ini, yaitu karena X selalu cemas bila menghadapi pelajaran matematika, sehingga kecemasan ini perlu diturunkan agar X tidak lagi cemas menghadapi mata pelajaran matematika. X yang didampingi ibunya menyetujui program ini.
Dalam sesi ini PI banyak bercerita tentang situasi-situasi yang menyenangkan dan yang membuat PI mampu melupakan beban-beban berat. Hal ini dilakukan untuk membawa suasana hati X juga terbawa pada perasaan senang, karena setelah itu X, diminta menceritakan situasi yang menyenangkan dan netral yang pernah dialaminya beserta pikiran dan perasaannya pada saat itu.
Dari cerita X, PI dapat menyimpukan bahwa, X pernah merasa senang dan terasa bebas ketika ia jalan-jalan bersama temannya di “Curug Muncar”. Sebuah air terjun yang cukup tinggi di sebelah Barat Laut Kab. Purworejo. Untuk mencapai air terjun ini jalannya cukup susah dan ekstrim, namun X merasa senang dan mampu melupakan beban-beban sekolah.
Di akhir sesi ini, PI memberikan tugas rumah untuk lebih banyak menuliskan situasi yang menyenangkan beserta pikirannya saat itu. Setiap tugas rumah yang dikerjakan X, maka X akan mendapatkan poin 2. Nilai dapat dikumpulkan. Jika jumlah nilainya sudah mencapai 4, 8, 12, 16, 20 maka X akan mendapatkan hadiah yang disepakati dengan orang tuanya.
Kesepakatan yang disepakati anak dan ibu pada sesi pertama ini adalah : 
Poin 4          :  Boneka Hello kitty besar
Poin 8          :  Spring Bed Baru
Poin 12        :  Sepeda Listrik terbaru
Poin 16        :  Jalan-jalan berpetualang di lereng merapi Jogja
Poin 20        :  Laptop Toshiba

Pelaksanaan 2
Hari                 : Sabtu
Tanggal         :  15 November  2014
Waktu             : 13.30 s.d 14.30 (60 menit)
Materi             : Mengenali perasaan
Deskripsi Kegiatan :
Awal kegiatan, PI memeriksa tugas rumah X dan memberikan poin 2. Selanjutnya X mendapat penjelasan bahwa setiap orang dapat mengalami sejumlah perasaan berbeda. PI kemudian bercerita tentang pengalaman-pengalamannya saat PI dalam perasaan sedang marah, sedih, senang, dan kaget. Hal ini dilakukan untuk memancing X bercerita untuk mengungkapkan perasaan yang dialami.
Dalam sesi ini, X terlihat kooperatif dan cukup lancar dalam menceritakan nperasan-perasaannya dalam situasi tertentu, seperti yang terangkum dalam kelompok catatan berikut :
Sedikit cemas atau takut:
Takut gelap, takut ke dokter, takut jarum suntik, takut mendapat telepon atau sms yang tidak ada nomornya atau atau nomor yang tidak dikenali
Membuatnya cemas dan takut :
Berada di tempat yang sepi sendirian, les tanpa diantar atau ditunggui orang tua, tidur sendirian, takut ketinggian, pelajaran matematika, IPA dan Bahasa Inggris
Membuatnya sangat cemas dan takut :
Takut Hantu, sesuatu terjadi pada ibu, jauh dari keluarga, di rumah sendirian, melihat darah, dianggap bodoh, mendapat nilai jelek, tidak naik kelas.
Diakhir sesi, X mendapat  tugas rumah untuk menuliskan situasi yang membuatnya sangat takut atau cemas dan yang membuatnya tenang, beserta pikirannya saat itu.

Pelaksanaan 3
Hari                 : Rabu
Tanggal         : 19 November  2014
Waktu             : 13.45 s.d 14.30 (45 menit)
Materi             : Reaksi Tubuh
Deskripsi Kegiatan :
Awal kegiatan, PI memeriksa tugas rumah X dan memberikan poin 2 lagi. Selanjutnya X mendapat penjelasan tentang tanda-tanda atau reaksi tubuh tertentu saat cemas. PI memberikan gambaran dengan menceritakan induk ayam yang melihat hewan lain atau orang yang mendekati anak-anaknya. X dapat menyebutkan reaksi induk ayam tersebut dengan ceritanya yang cukup antusias.
Selanjutnya PI menanyakan pada X, bagaimana perasaan atau reaksi tubuh X saat menghadapi rasa cemas, apa yang dirasakan saat  X akan mengikuti pembelajaran matematika. X dengan cukup lancar menyampaikan bahwa setiap akan ada pembelajaran matematika, jantungnya berdebar-debar tak karuan, keringat dingin tiba-tiba mengalir sendiri, apalagi kalau ada PR yang belum dia kerjakan, ia benar-benar tidak betah tinggal di kelas. Namun begitu jam pelajaran selesai dan gurunya keluar dia begitu lega dan seakan terbebas dari kungkungan yang membelenggu.
Pada sesi akhir, X mendapat  penjelasan tentang mengukur tingkat kecemasan dengan menggunakan skala kecemasan. Tugas rumah untuk X pada sesi ini adalah menuliskan situasi yang mencemaskannya serta nilai tingkat kecemasannya dengan menggunakan skala tersebut.

Pelaksanaan 4
Hari                 : Sabtu
Tanggal         : 22 November  2014
Waktu             : 13.35 s.d 14.15 (40 menit)
Materi             : Relaksasi

Deskripsi Kegiatan :
Pada sesi ini saat PI menanyakan tugas rumah, ternyata X tidak mengerjakannya dengan alasan lupa, namun ia berjanji akan mengerjakan bersama dengan tugas berikutnya.
PI mencoba mengingatkan materi sesi 3 dan bertanya pada X, tetapi X kesulitan menjawab dan terkesan lupa dengan materi sebelumnya tersebut. Akhirnya PI kembali mereview materi yang sudah dipelajari, sehingga X kembali mampu mengingat reaksi-reaksi saat orang merasa cemas.
Selanjutnya PI memberikan contoh-contoh gerakan relaksasi untuk menurunkan rasa cemas yang diikuti X dengan cukup baik yaitu dengan menegangkan otot dengan ketegangan tertentu dan kemudian mengendorkannya. Sebelum dikendorkan, X disuruh merasakan ketegangan tersebut sehingga X dapat membedakan antara otot yang tegang dan yang lemas.  Selain itu PI juga memberikan contoh gerakan menahan lengan dominan dengan menekuk siku dan membentuk sudut 45 derajat dengan membuat kepalan (tangan, lengan bagian bawah, dan otot biseps), melakukan gerakan yang sama pada lengan non dominan, pada beberapa otot wajah dengan mengerutkan dahi, mata, memoncongkan atau menekanlidah pada mulut bagian atas, menekan bibir atau menariknya ke sudut mulut bagian dalam, melakukan gerakan menekan atau membenamkan dagu di dada.
Diakhir sesi X diberikan penjelasan tugas rumah yaitu, mempraktikkan relaksasi saat cemas dan menuliskan pengalaman yang mencemaskan beserta pikiran dan perasaannya saat itu.

Pelaksanaan 5
Hari                 : Rabu
Tanggal         : 26 November  2014
Waktu             : 13.35 s.d 14.45 (70 menit)
Materi             : Mengenali Pikiran

Deskripsi Kegiatan :
Pada sesi ini X menceritakan situasi-situasi  yang mencemaskan 3 hari sebelumnya, yaitu saat ia tidak membawa buku Matematika pada hari senin dan lupa menghafalkan not angka untuk praktik seni budaya di depan kelas pada hari selasa.
Ia cemas akan dimarahi oleh kedua gurunya saat itu dan tentu akan menjadi malu di hadapan teman-teman lainnya. Tetapi ketika pelajaran Matematika, guru yang bersangkutan (Penulis sendiri) ternyata sedang mengikuti rapat study tour di ruang kepala sehingga diganti dengan tugas mandiri di kelas. Sedangkan saat pelajaran seni budaya, sampai jam belajar habis, ia belum dipanggil untuk maju. Dari pengalaman tersebut, X dapat mengambil hikmah atau menyimpulkan bahwa tidak semua kecemasannya menjadi kenyataan.
Pada sesi ini, X mempelajari langkah berikutnya dalam mengatasi kecemasan  yaitu menyadari pikirannya saat cemas. X menceritakan pengalamannya saat  terpaksa di rumah sendirian karena ibu bapaknya belum pulang kerja sedangkan pembantunya mendadak pulang karena anaknya masuk rumah sakit. Ia mau tidak mau terpaksa harus menerima kenyataan itu padahal biasanya ia sangat takut tinggal di rumah sendirian, akhirnya ia mengunci semua pintu dan jendela kemudian main game dengan suara keras.
Pada akhir sesi, X mendapat  tugas rumah untuk menuliskan 3 situasi  yang mencemaskan beserta perasaan dan pikirannya saat itu.



KESIMPULAN DAN DISKUSI

Intervensi CBT ini memang belum dilaksanakan sepenuhnya pada diri X, namun berdasarkan evaluasi selama pelaksanaan intervensi, terlihat bahwa X tidak hanya memiliki rasa cemas terhadap pembelajaran matematika, namun juga pada situasi lain seperti takut gelap, takut ke dokter, takut jarum suntik, takut mendapat telepon atau sms yang tidak ada nomornya atau atau nomor yang tidak dikenali, takut berada di tempat yang sepi sendirian, les tanpa diantar atau ditunggui orang tua, tidur sendirian, takut ketinggian, pelajaran matematika, IPA dan Bahasa Inggris, takut Hantu, takut sesuatu terjadi pada ibu, takut jauh dari keluarga, di rumah sendirian, melihat darah, dianggap bodoh, mendapat nilai jelek, dan tidak naik kelas.
Takut atau kecemasan yang sudah berkurang adalah les tanpa diantar ibu, dalam hal ini pernah dua kali sesi tidak ditunggui ibunya, di rumah sendirian, dan kecemasan pada pelajaran, karena pada Intervensi X hal ini pernah di beri gambaran oleh PI, sehingga cukup menurunkan tingkat kecemasannya.
Menurut Silverman dkk (dalam Rey, Marlin, dan Silverman, 2011) sekitar 20 % sampai dengan 40 %, anak dengan gangguan kecemasan yang mendapat intervensi CBT gagal merespon secara positif terhadap intervensi ini, sehingga masih memenuhi kriteria gangguan kecemasan di akhir treatment. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi hal ini, yaitu psikopatologi yang dialami orang tua, keterlibatan orang tua, tingkat keparahan gangguan, kognitif, masalah dalam keluarga, dan proses yang terjadi selama intervensi.



Daftar Pustaka :
Maaf Daftar Pustaka tidak saya cantumkan