MODEL
KONSELING COGNITIVE BEHAVIOR THERTAPY
(CBT) DALAM MENURUNKAN TINGKAT KECEMASAN BELAJAR MATEMATIKA
Oleh : Supriyo,S.Pd.I
(Guru Matematika MTs Negeri Bener Purworejo)
Mata pelajaran matematika
dianggap sebagian siswa sebagai mata pelajaran yang sukar dan biasanya belajar
matematika memerlukan konsentrasi tinggi. Saat ini, masih banyak siswa yang
mengalami kesulitan belajar matematika. Mereka menganggap matematika suatu
pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan menjadi beban bagi siswa karena
bersifat abstrak, penuh dengan angka dan rumus, sehingga menimbulkan kecemasan
pada diri siswa ketika sedang melaksanakan pembelajaran matematika .
Menurut
Hudoyo (dalam Nawangsari, 2001), kecemasan siswa dalam pelajaran matematika
dipengaruhi oleh pengalaman belajar matematika yang diterima siswa di masa
lampau. Namun berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Nawangsari
(2001) terhadap siswa kelas 1 Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 19
Surabaya terlihat bahwa 81 % kecemasan siswa terhadap pelajaran matematika
dipengaruhi oleh self-efficacy belief siswa atau keyakinan diri siswa
dan expectancy value siswa atau harapan siswa terhadap suatu
keberhasilan. Sedangkan menurut oleh
Suinn dan Edward (Susanti dan Rohmah,2011) kecemasan matematika (mathematics anxiety) didefinisikan sebagai
perasaan tegang, kekhawatiran atau ketakutan yang mengganggu prestasi
matematika seseorang. Selain itu, Ashcraft dan Faust (Susanti dan Rohmah, 2011)
memberikan pengertian bahwa kecemasan matematika adalah perasaan tertekan,
kegelisahan, bahkan ketakutan yang bercampur dengan kesalahan yang luar biasa
pada angka dan memecahkan soal matematika. Sehingga
saat siswa menghadapi pelajaran matematika, siswa akan mengalami kecemasan dan
bila hal ini terjadi dalam satu kurun waktu maka akan mempengaruhi prestasi
akademik matematika siswa tersebut.
Penelitian
Anita (2014), menunjukkan adanya hubungan kecemasan matematika (mathematics
anxiety) terhadap kemampuan
koneksi matematis siswa SMP. Penelitiannya menghasilkan bahwa terdapat hubungan antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,903 atau sangat signifikan. Pola hubungan tidak searah ditunjukkan oleh tanda negatif pada koefisien korelasi yang menunjukkan bahwa hubungan tidak searah antara kecemasan matematika dan kemampuan koneksi matematis. Pengaruh terbesar dari tingkat kecemasan matematika ditunjukkan oleh kecemasan terhadap pembelajaran, yaitu kecemasan siswa yang timbul saat pembelajaran berlangsung. Hasil analisis menunjukkan hubungan negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis. Koefisien regresi menunjukkan pengaruh negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis siswa.
koneksi matematis siswa SMP. Penelitiannya menghasilkan bahwa terdapat hubungan antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,903 atau sangat signifikan. Pola hubungan tidak searah ditunjukkan oleh tanda negatif pada koefisien korelasi yang menunjukkan bahwa hubungan tidak searah antara kecemasan matematika dan kemampuan koneksi matematis. Pengaruh terbesar dari tingkat kecemasan matematika ditunjukkan oleh kecemasan terhadap pembelajaran, yaitu kecemasan siswa yang timbul saat pembelajaran berlangsung. Hasil analisis menunjukkan hubungan negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis. Koefisien regresi menunjukkan pengaruh negatif antara kecemasan matematika dengan kemampuan koneksi matematis siswa.
Seperti
yang terjadi pada siswi kami bernama “X”, yang sekarang duduk di kelas 9,
selalu nampak gelisah dan tidak tenang pada setiap pembelajaran matematika yang
mengakibatkan nilai matematikanya selalu jelek, tidak mampu mendapat nilai lebih dari 40.
X,
merupakan anak tunggal dari keluarga
mampu yang kedua orang tuanya bekerja dan sering di manja oleh
lingkungannya. Sejak bayi hingga ia
sekarang kelas 9, X diasuh oleh seorang pembantu dan jarang keluar rumah, semua
kebutuhan dapat tercukupi dan bahkan terkesan berlebihan.
Sampai
saat ini , X masih nampak manja, belum mandiri dan sangat membutuhkan dukungan
dan bantuan dari orang lain untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Hal tersebut
dipengaruhi pola asuh orang tua X dan pengasuhnya yang cenderung selalu
membantu X dalam melakukan kegiatan sehari-hari, seperti mengambil sepatu,
mengambil makan minum, mengupas kulit buah dan masih banyak kegiatan
kecil-kecil yang tidak mau ia lakukan sendiri.
X
juga sering tidak masuk sekolah jika saat itu akan ada ulangan atau tidak
mengerjakan tugas rumah. Ia takut di marahi guru karena tidak membuat tugas
rumah dan ia merasa cemas mendapatkan nilai rendah jika dipaksakan ikut
ulangan. Tetapi ia menolak mengikuti les di luar sekolah jika tidak ditunggui
oleh ibunya.
Pada
saat pembelajaran matematika, dalam pengamatan penulis, ia selalu gelisah jika
saat latihan soal di dekati gurunya. Ia juga pernah mengungkapkan perasaan pada
temannya, bahwa detak jantungnya selalu berdebar keras jika sudah mendengar
suara gurunya mendekat dan akan masuk kelas, sehingga saat mengikuti pelajaran
ia sulit untuk berkonsentrasi.
Kecemasan
matematika bisa muncul sedini mungkin seperti pada anak-anak kelas empat SD dan
puncaknya berada di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas.
Scarpello (2007) menyebutkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya
kecemasan matematika, yaitu (a) Pengalaman masa lalu yang buruk; (b) Lingkungan
kelas; (c) Pola Asuh Orangtua; dan (d) Kemampuan mengingat matematika yang
buruk.
Menurut Trujillo & Hadfield (Peker, 2009) penyebab kecemasan
matematika dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu:
a. Faktor kepribadian (psikologis atau emosional)
Misalnya perasaan takut
siswa akan kemampuan yang dimilikinya (self-efficacy belief),
kepercayaan diri yang rendah yang menyebabkan rendahnya nilai harapan siswa (expectancy
value), motivasi diri siswa yang rendah dan sejarah emosional seperti
pengalaman tidak menyenangkan dimasa lalu yang berhubungan dengan matematika
yang menimbulkan trauma.
Penelitian
Nursilawati (2010), pada siswa SMPN 4 Tangerang Selatan dengan populasi
sebanyak 680 untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara self efficacy
matematika dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika menghasilkan nilai
r hitung lebih besar dari nilai r tabel yaitu -0,602 > 0,256, (arah hubungan bersifat negatif). Hal ini
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara self efficacy matematika
dengan kecemasan menghadapi pelajaran matematika. Arah hubungan yang didapat
bersifat negatif yang bermakna bahwa semakin tinggi self efficacy
seseorang terhadap matematika, maka kecemasan yang dialami seseorang akan
menurun dan sebaliknya, semakin rendah self efficacy seseorang terhadap
matematika, maka kecemasan yang dialami akan semakin meningkat (tinggi).
b. Faktor lingkungan atau sosial
Misalnya kondisi saat proses
belajar mengajar matematika di kelas yang tegang diakibatkan oleh cara
mengajar, model dan metode mengajar guru matematika. Rasa takut dan cemas
terhadap matematika dan kurangnya pemahaman yang dirasakan para guru matematika dapat
terwariskan kepada para siswanya (Wahyudin, 2010). Faktor yang lain yaitu
keluarga terutama orang tua siswa yang terkadang memaksakan anak-anaknya untuk
pandai dalam matematika karena matematika dipandang sebagai sebuah ilmu yang
memiliki nilai prestise.
c. Faktor intelektual
Faktor intelektual terdiri
atas pengaruh yang bersifat kognitif, yaitu lebih mengarah pada bakat dan
tingkat kecerdasan yang dimiliki siswa.
Penyebab
rasa cemas X adalah adanya distorsi kognitif pada dirinya, (Novitasari, 2013),
yaitu pikiran bahwa ia tidak mampu menghadapi
situasi-situasi yang dipersepsikannya mengancam sehingga membutuhkan
bantuan orang lain. Oleh karena itu
penting dilakukan penanganan kecemasan pada diri X agar tidak berkembang
menjadi gangguan yang lebih serius di
kemudain hari.
Haugaard
dalam Novitasari (2013), menyampaikan bahwa ada sejumlah intervensi untuk
menangani gangguan kecemasan pada anak antara lain Systematic Desensitization, Medication, Family Intervention, dan Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Pada
intervensi Systematic Desensitization
anak dihadapkan pada situasi yang membuatnya cemas secara bertahap. Intervensi
ini menggunakan proses yang disebut
reciprocal inhibition, yaitu memasangkan suatu respon yang menghambat
kecemasan (umumnya berupa relaksasi) dengan sumber kecemasan. Setelah hal ini
dilakukan cukup sering, maka kaitan antara sumber kecemasan dan perasaan cemas
akan berkurang atau terputus. Systematic desensitization ini hanya menekankan
aspek perilaku dalam mengatasi kecemasan
anak. Intervensi lainnya adalah Medication
yang umumnnya menggunakan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors dan Tricyclic
Antidepressant untuk mengatasi
kecemasan. Berdasarkan sejumlah penelitian, intervensi Medication kurang
efektif menangani kecemasan pada anak dibandingkan pada orang dewasa. Selain
itu, sejumlah anak yang mendapat intervensi
Medication ini mengalami efek samping, antara lain mulut terasa kering,
mual, lelah, pusing. Intervensi kecemasan berikutnya adalah Family Intervention yang berupa
pelatihan terhadap orangtua agar dapat mengatasi kecemasannya sendiri dan
memiliki keterampilan untuk membantu anak mereka mengatasi kecemasan, antara
lain mengabaikan perilaku cemas anak dan memberikan reinforcement terhadap
perilaku yang sesuai. Intervernsi sesuai jika orangtua juga mengalami masalah
kecemasan.
Selain
ketiga intervensi kecemasan di atas, ada intervensi yang telah di gunakan
secara luas dan efektif untuk mengatasi gangguan kecemasan pada anak dan
remaja, yaitu Cognitive-Behavioral Therapy.
CBT bertujuan mengajarkan anak menyadari tanda-tanda adannya kecemasan yang
tidak diinginkan dan menjadikan tanda-tanda tersebut sebagai informasi yang
akan digunakan dalam strategi manajemen kecemasannya. CBT efektif dalam
menurunkan gangguan kecemasan pada anak, baik diterapkan secara individual,
melibatkan anak dan orangtua, maupun dalam format kelompok. Efek positif CBT ini
dapat dipertahankan dalam periode waktu 5 sampai 7 tahun.
Kelebihan
CBT dibandingkan sejumlah intervensi di atas adalah adalah CBT menggabungkan
beberapa intervensi menjadi suatu strategi yang mempengaruhi berbagai isu yang
berkaitan dengan kecemasan, misalnya menggunakan konsep classical conditioning yang secara bertahap menghadapkan anak pada
situasi yang menimbulkan kecemasan(seperti dalam systematic desensitization), menggunakan operant conditioning untuk mengurangi reinforcement dari perilaku menghindar dan meningkatkan reinforcement untuk perilaku mengatasi
kecemasan secara efektif, dan menggunakan terapi kognitif untuk mengajarkan
anak mengidentifikasi dan memodifikasi kognisi yang mendukung kecemasannya. Komponen
kognitif penting dilibatkan dalam penanganan gangguan kecemasan karena sejumlah
penelitian menunjukan distorsi kognitif dan pikiran negatif melatarbelakangii
kecemasan pada anak. Adanya penambahan komponen kognitif melebihi strategi behavior
karena dapat meningkatkan kemampuan anak menggeneralisasi keterampilannya dan
mengurangi ketergantungan terhadap dorongan dari lingkungan. Dalam CBT,distorsi
kognitif pada anak yang menghambat perilakunya dibahas secara langsung dengan
analisa berdasarkan bukti.
Penelitian
Suryaningrum (2013) yang meneliti seorang individu yang menunjukkan simptom-simptom Obsesive
Compulsive Disorder (OCD). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cognitive
Behavior Therapy (CBT) dapat mengurangi simptom OCD, yang ditunjukkan
dengan menurunnya tingkat kecemasan,pemikiran negatif dan perilaku kompulsif.
Subyek merasakan perubahan yang besar setelah mengikuti terapi; tingkat
kenyamanan terhadap dirinya sendiri juga lebih baik dibanding sebelumnya.
Penerapan CBT Dalam Menangani
Kecemasan Matematika
CBT
merupakan intervensi yang efektif dan telah digunakan secara luas untuk
menangani masalah kecemasan pada anak dan remaja. CBT untuk mengatasi kecemasan
pada anak mengintegrasikan pendekatan perilaku (behavior) yang sudah terbukti
efisien dengan penekanan pada faktor pemrosesan informasi kognitif yang
berkaitan dengan kecemasan pada anak tersebut. Tujuan intervensi ini adalah
mengajarkan anak mengenali tanda-tanda adanya dorongan kecemasan,dan
menggunakan tanda-tanda tersebut sebagai informasi dalam mengelola kecemasannya (Kendall, 2011).
Penerapan
pendekatan perilaku dalam CBT untuk menangani kecemasan anak ini berupa
penggunaan konsep classical conditioning,
yaitu secara bertahap menghadapkan anak pada situasi yang memicu kecemasannya dengan menempatkan seseorang dalam situasi
yang mencemaskan secara bertahap dan aman (misalnya di ruang terapis) dapat
melemahkan ikatan antara situasi yang mencemaskan dengan gejala kecemasan yang
dimunculkannya. Selain ituadalah dengan konsep operant-conditioning yaitu dengan mengurangi reinforcement yang diperoleh
atas perilaku menghindar anak dari kecemasan, dan meningkatkan reinforcement untuk mengatasi perilaku kecemasan secara
efektif (Haugaard dalam Novitasari, 2013).
Konsep
pendekatan ini, jika pikiran diubah, maka perilaku juga akan dapat dirubah.
Oleh karena itu terapi untuk anak dengan masalah kecemasan yang fokus dengan
pikiran yang menyebabkan kecemasan dapat menurunkan kecemasan anak tersebut.
Menurut
Kendall (2011), terapi CBT dalam menangani kecemasan dapat menggunakan 4
prinsip yang dikenal dengan FEAR, yaitu :
1. F atau Feeling frightened, yaitu mengajarkan anak mengenali gejala fisik
saat cemas
2. E atau Expecting bad things to happen, yaitu
mengajarkan anak mengidentifikasi pikirannya saat cemas
3. A atau Attitudes and actions that can help, yaitu mengajarkan anak
mengembangkan strategi mengatasi kecemasan
4. R atau Result and Rewards, yaitu mengajarkan anak mengevaluasi usahanya
dalam mengatasi kecemasan dan menghargai diri mereka sendiri atas usahanya itu.
Pelaksanaan Program Intervensi CBT
Pelaksanaan
program intervensi CBT ini dilakukan oleh seorang guru BK dan wali kelasnya
yang menjadi teman kerja penulis di MTs Negeri Bener di bawah koordinasi
penulis. Hal ini dilakukan karena dari hasil wawancara guru BK dengan X, bahwa
X selalu merasa tidak nyaman jika berhadapan atau berdekatan dengan penulis
sebagai guru matematikanya. Ia selalu cemas dan inginnya menghindar dari
penulis. Sehingga kami menyepakati bahwa
intervensi ini dilaksanakan oleh guru BK dan wali kelasnya.
Intervensi
ini baru dilaksanakan 5 kali, dari rencana minimal 10 kali yang dilakukan pada setiap
hari Rabu dan Sabtu sepulang sekolah sekitar pukul 13.30 s.d 14.30 mulai
tanggal 12 November s.d 13 Desember 2014, di ruang BK yang ditemani oleh
ibunya. Hasil pelaksanaan intervensi CBT tersebut dari laporan tertulis guru BK
dapat dilihat sebagai berikut :
Pelaksanaan 1
Hari : Rabu
Tanggal : 12 November 2014
Waktu
: 13.35 s.d 14.25 (50 menit)
Materi : pengenalan program dan mengenali
perasaan dan pikiran yang dialami seseorang dalam situasi tertentu
Deskripsi
Kegiatan :
Pelaksana
Intervensi (PI) yang dalam hal ini adalah guru BK dan wali kelas menjelaskan
program yang akan diikuti oleh X beserta alasan mengapa X harus menjalani
program ini, yaitu karena X selalu cemas bila menghadapi pelajaran matematika,
sehingga kecemasan ini perlu diturunkan agar X tidak lagi cemas menghadapi mata
pelajaran matematika. X yang didampingi ibunya menyetujui program ini.
Dalam
sesi ini PI banyak bercerita tentang situasi-situasi yang menyenangkan dan yang
membuat PI mampu melupakan beban-beban berat. Hal ini dilakukan untuk membawa
suasana hati X juga terbawa pada perasaan senang, karena setelah itu X, diminta
menceritakan situasi yang menyenangkan dan netral yang pernah dialaminya
beserta pikiran dan perasaannya pada saat itu.
Dari
cerita X, PI dapat menyimpukan bahwa, X pernah merasa senang dan terasa bebas
ketika ia jalan-jalan bersama temannya di “Curug Muncar”. Sebuah air terjun
yang cukup tinggi di sebelah Barat Laut Kab. Purworejo. Untuk mencapai air
terjun ini jalannya cukup susah dan ekstrim, namun X merasa senang dan mampu
melupakan beban-beban sekolah.
Di
akhir sesi ini, PI memberikan tugas rumah untuk lebih banyak menuliskan situasi
yang menyenangkan beserta pikirannya saat itu. Setiap tugas rumah yang
dikerjakan X, maka X akan mendapatkan poin 2. Nilai dapat dikumpulkan. Jika
jumlah nilainya sudah mencapai 4, 8, 12, 16, 20 maka X akan mendapatkan hadiah
yang disepakati dengan orang tuanya.
Kesepakatan
yang disepakati anak dan ibu pada sesi pertama ini adalah :
Poin
4 : Boneka Hello kitty besar
Poin
8 : Spring Bed Baru
Poin
12 : Sepeda Listrik terbaru
Poin
16 : Jalan-jalan berpetualang di lereng merapi Jogja
Poin
20 : Laptop Toshiba
Pelaksanaan 2
Hari : Sabtu
Tanggal : 15 November
2014
Waktu
: 13.30 s.d 14.30 (60 menit)
Materi : Mengenali perasaan
Deskripsi
Kegiatan :
Awal
kegiatan, PI memeriksa tugas rumah X dan memberikan poin 2. Selanjutnya X mendapat
penjelasan bahwa setiap orang dapat mengalami sejumlah perasaan berbeda. PI
kemudian bercerita tentang pengalaman-pengalamannya saat PI dalam perasaan
sedang marah, sedih, senang, dan kaget. Hal ini dilakukan untuk memancing X
bercerita untuk mengungkapkan perasaan yang dialami.
Dalam
sesi ini, X terlihat kooperatif dan cukup lancar dalam menceritakan
nperasan-perasaannya dalam situasi tertentu, seperti yang terangkum dalam kelompok
catatan berikut :
Sedikit
cemas atau takut:
Takut gelap, takut ke dokter, takut
jarum suntik, takut mendapat telepon atau sms yang tidak ada nomornya atau atau
nomor yang tidak dikenali
Membuatnya
cemas dan takut :
Berada di tempat yang sepi
sendirian, les tanpa diantar atau ditunggui orang tua, tidur sendirian, takut
ketinggian, pelajaran matematika, IPA dan Bahasa Inggris
Membuatnya
sangat cemas dan takut :
Takut Hantu, sesuatu terjadi pada
ibu, jauh dari keluarga, di rumah sendirian, melihat darah, dianggap bodoh,
mendapat nilai jelek, tidak naik kelas.
Diakhir
sesi, X mendapat tugas rumah untuk
menuliskan situasi yang membuatnya sangat takut atau cemas dan yang membuatnya
tenang, beserta pikirannya saat itu.
Pelaksanaan 3
Hari : Rabu
Tanggal : 19 November 2014
Waktu
: 13.45 s.d 14.30 (45 menit)
Materi : Reaksi Tubuh
Deskripsi
Kegiatan :
Awal
kegiatan, PI memeriksa tugas rumah X dan memberikan poin 2 lagi. Selanjutnya X
mendapat penjelasan tentang tanda-tanda atau reaksi tubuh tertentu saat cemas.
PI memberikan gambaran dengan menceritakan induk ayam yang melihat hewan lain
atau orang yang mendekati anak-anaknya. X dapat menyebutkan reaksi induk ayam
tersebut dengan ceritanya yang cukup antusias.
Selanjutnya
PI menanyakan pada X, bagaimana perasaan atau reaksi tubuh X saat menghadapi
rasa cemas, apa yang dirasakan saat X
akan mengikuti pembelajaran matematika. X dengan cukup lancar menyampaikan
bahwa setiap akan ada pembelajaran matematika, jantungnya berdebar-debar tak
karuan, keringat dingin tiba-tiba mengalir sendiri, apalagi kalau ada PR yang
belum dia kerjakan, ia benar-benar tidak betah tinggal di kelas. Namun begitu
jam pelajaran selesai dan gurunya keluar dia begitu lega dan seakan terbebas
dari kungkungan yang membelenggu.
Pada
sesi akhir, X mendapat penjelasan
tentang mengukur tingkat kecemasan dengan menggunakan skala kecemasan. Tugas
rumah untuk X pada sesi ini adalah menuliskan situasi yang mencemaskannya serta
nilai tingkat kecemasannya dengan menggunakan skala tersebut.
Pelaksanaan 4
Hari : Sabtu
Tanggal : 22 November 2014
Waktu
: 13.35 s.d 14.15 (40 menit)
Materi : Relaksasi
Deskripsi
Kegiatan :
Pada
sesi ini saat PI menanyakan tugas rumah, ternyata X tidak mengerjakannya dengan
alasan lupa, namun ia berjanji akan mengerjakan bersama dengan tugas
berikutnya.
PI
mencoba mengingatkan materi sesi 3 dan bertanya pada X, tetapi X kesulitan
menjawab dan terkesan lupa dengan materi sebelumnya tersebut. Akhirnya PI
kembali mereview materi yang sudah dipelajari, sehingga X kembali mampu
mengingat reaksi-reaksi saat orang merasa cemas.
Selanjutnya
PI memberikan contoh-contoh gerakan relaksasi untuk menurunkan rasa cemas yang
diikuti X dengan cukup baik yaitu dengan menegangkan otot dengan ketegangan tertentu dan kemudian
mengendorkannya. Sebelum dikendorkan, X disuruh merasakan ketegangan tersebut
sehingga X dapat membedakan antara otot yang tegang dan yang lemas. Selain itu PI juga memberikan contoh gerakan menahan
lengan dominan dengan menekuk siku dan membentuk sudut 45 derajat dengan
membuat kepalan (tangan, lengan bagian bawah, dan otot biseps), melakukan
gerakan yang sama pada lengan non dominan, pada beberapa otot wajah dengan mengerutkan
dahi, mata, memoncongkan atau menekanlidah pada mulut bagian atas, menekan
bibir atau menariknya ke sudut mulut bagian dalam, melakukan gerakan menekan
atau membenamkan dagu di dada.
Diakhir sesi X diberikan penjelasan tugas rumah yaitu,
mempraktikkan relaksasi saat cemas dan menuliskan pengalaman yang mencemaskan
beserta pikiran dan perasaannya saat itu.
Pelaksanaan 5
Hari : Rabu
Tanggal : 26 November 2014
Waktu
: 13.35 s.d 14.45 (70 menit)
Materi : Mengenali Pikiran
Deskripsi
Kegiatan :
Pada
sesi ini X menceritakan situasi-situasi
yang mencemaskan 3 hari sebelumnya, yaitu saat ia tidak membawa buku Matematika
pada hari senin dan lupa menghafalkan not angka untuk praktik seni budaya di
depan kelas pada hari selasa.
Ia
cemas akan dimarahi oleh kedua gurunya saat itu dan tentu akan menjadi malu di
hadapan teman-teman lainnya. Tetapi ketika pelajaran Matematika, guru yang
bersangkutan (Penulis sendiri) ternyata sedang mengikuti rapat study tour di
ruang kepala sehingga diganti dengan tugas mandiri di kelas. Sedangkan saat
pelajaran seni budaya, sampai jam belajar habis, ia belum dipanggil untuk maju.
Dari pengalaman tersebut, X dapat mengambil hikmah atau menyimpulkan bahwa
tidak semua kecemasannya menjadi kenyataan.
Pada
sesi ini, X mempelajari langkah berikutnya dalam mengatasi kecemasan yaitu menyadari pikirannya saat cemas. X
menceritakan pengalamannya saat terpaksa
di rumah sendirian karena ibu bapaknya belum pulang kerja sedangkan pembantunya
mendadak pulang karena anaknya masuk rumah sakit. Ia mau tidak mau terpaksa
harus menerima kenyataan itu padahal biasanya ia sangat takut tinggal di rumah
sendirian, akhirnya ia mengunci semua pintu dan jendela kemudian main game
dengan suara keras.
Pada
akhir sesi, X mendapat tugas rumah untuk
menuliskan 3 situasi yang mencemaskan
beserta perasaan dan pikirannya saat itu.
KESIMPULAN DAN DISKUSI
Intervensi CBT ini memang belum dilaksanakan sepenuhnya pada diri
X, namun berdasarkan evaluasi selama pelaksanaan intervensi, terlihat bahwa X
tidak hanya memiliki rasa cemas terhadap pembelajaran matematika, namun juga
pada situasi lain seperti takut
gelap, takut ke dokter, takut jarum suntik, takut mendapat telepon atau sms
yang tidak ada nomornya atau atau nomor yang tidak dikenali, takut berada di
tempat yang sepi sendirian, les tanpa diantar atau ditunggui orang tua, tidur
sendirian, takut ketinggian, pelajaran matematika, IPA dan Bahasa Inggris, takut
Hantu, takut sesuatu terjadi pada ibu, takut jauh dari keluarga, di rumah
sendirian, melihat darah, dianggap bodoh, mendapat nilai jelek, dan tidak naik
kelas.
Takut
atau kecemasan yang sudah berkurang adalah les tanpa diantar ibu, dalam hal ini
pernah dua kali sesi tidak ditunggui ibunya, di rumah sendirian, dan kecemasan
pada pelajaran, karena pada Intervensi X hal ini pernah di beri gambaran oleh
PI, sehingga cukup menurunkan tingkat kecemasannya.
Menurut
Silverman dkk (dalam Rey, Marlin, dan Silverman, 2011) sekitar 20 % sampai
dengan 40 %, anak dengan gangguan kecemasan yang mendapat intervensi CBT gagal
merespon secara positif terhadap intervensi ini, sehingga masih memenuhi
kriteria gangguan kecemasan di akhir treatment. Ada sejumlah faktor yang
mempengaruhi hal ini, yaitu psikopatologi yang dialami orang tua, keterlibatan
orang tua, tingkat keparahan gangguan, kognitif, masalah dalam keluarga, dan
proses yang terjadi selama intervensi.
Maaf Daftar Pustaka tidak saya cantumkan